June 12, 2009

12 Juni 2001

Gak enak banget rasanya jadi sarjana nganggur. Aku pernah mengalami. Tidak benar-benar nganggur sih, ada project dikit dikit, tapi tetap saja kurang puas. Aku merasa tidak fully optimized.
Makanya setelah beberapa kali bolak-balik Jogja – Jakarta, untuk tes dan interview di pelbagai perusahaan, akhirnya aku dipanggil masuk ke salah satu perusahaan yang cukup terpandang. Wuih bangganya. Serasa dunia dalam genggaman. ”Oeyyy Jakarta, lihat aku datang. Akan ku taklukkan kau!!”

Aku berangkat merantau ke Jakarta naik kereta malam. Diantar Ibu, sepupu, dan tentu saja pacarku waktu itu. Sayang sekali Bapak tidak bisa mengantar. Padahal pada saat tes, beberapa kali aku sempat dibonceng oleh beliau ke statiun tugu.
Waktu pamit, Bapak menjabat tanganku. Erat. Erat sekali. Ada senyum bangga terlihat. Senyum yang sampai saat ini masih terus menyemangati. Senyum yang pada awal kedatanganku ke ibukota mampu membuat aku bertahan dan tetap berusaha menaklukkan Jakarta. Bapak waktu itu sudah sakit-sakitan. Beberapa kali sudah keluar masuk rumah sakit.
Malam itu 15 Maret 2001.

Aku segera bergelut dengan pekerjaanku. Untung sekali perusahaan ini dan orang-orang di dalamnya sangat welcome. Salah satu pekerjaanku waktu itu adalah supervisi survey lapangan, dan aku diberi kebebasan untuk mengatur jadwalku sendiri. Aku sengaja membuat jadwalku travelling ke kota-kota sekitar Jogja terlebih dahulu, agar bisa menyempatkan diri pulang ke rumah.

Sabtu, 9 Jun 2001
Aku singgah ke Jogja setelah dua hari bertugas di Madiun. Kondisi Bapak semakin parah. Nafasnya terasa berat. Badannya mengurus. Kulit yang biasa kencang mengikat tubuh gemuk Bapak, kini tampak mengendur. Dan keriputnya semakin dalam.
Walau dengan nafas tersengal, Beliau tetap saja meneguhkan aku.
Ra pa pa, Bapak ora apa apa. Bapak apik apik wae. Mung butuh leren
Dengan senyum yang aku paksakan, dan nafas kutarik dalam dalam, aku mengangguk pelan. Kelu. Tak bisa berkata apa apa.

Siang itu aku jagongan dengan pacarku di ruang tamu. Sementara Bapak tertidur di depan TV. Nafasnya semakin berat.
“Aghhh... Aghhh..” Kadang nafas Bapak seperti terhenti beberapa detik. Selang dari tabung oksigen menambah kalut pemandangan.
“Hah.....” Bapak terdengar seperti mengeluh.
Keluh yang selama ini tidak pernah aku dengar. Bapak yang aku kenal selalu nrimo, dan tidak pernah mengeluh.
”To....” Panggilnya.
Nggih Pak
Tulung mbok aku dikeroki
Dengan sedih aku keroki Bapak. Bapak selama ini tidak pernah mau menyusahkan orang lain. Minta tolong aku, anaknya pun hampir tidak pernah. Hanya ibulah yang menjadi tempat untuk direpoti. Tidak yang lain
Bapak ”mulai melepas dirinya” pikirku saat itu.

Minggu, 10 Jun 2001
Dalam doaku, aku bermohon
”Tuhan, terjadilah kehendakmu. Bukan inginku tapi kehendakMu. Hidup mati kami ada ditanganMu, sehat sakit kami ada di jariMu.
Tuhan kuserahkan semua ke dalam tanganMu”
Malam itu dalam gerbong kereta menuju Jakarta, aku benar-benar merasa berat meninggalkan Jogja. Meninggalkan Ibu seorang diri merawat Bapak yang sedang sakit keras.
Semula aku akan minta ijin tidak masuk karena kondisi ini. Tapi Ibu melarangku.
”Kamu ke Jakarta saja tidak apa-apa. Jangan sedih. Itu bagus buat psikis Bapak”
OK.
Ibu yang paling tahu Bapak. Betapa psikis Bapak akan semakin terkoyak jika melihat aku tidak ke Jakarta hanya untuk menunggui Beliau. Yah... ”Diri” Bapak akan semakin menderita jika aku sedih melihat dia. Aku harus tegar. Aku harus ke Jakarta.

Senin, 11 Jun 2001.
Hari Senin, seperti biasanya kerjaan kantor cukup banyak. Ditambah tidur yang sangat kurang di kereta semalam, membuat badanku terasa sangat lelah. Apalagi ada rasa gundah di hati.
Jam 21.30 aku sudah terkapar.
”Tuhan kuserahkan hidup kami...” ujarku lirih sebelum terlelap.
Jam 23.30an HP-ku berbunyi.
Kudengar suara Ibu dalam isak yang tertahan,
”Bapak kritis, tolong bantu Bapak dan Ibu dengan doa. Temani Ibu berjaga”
”Semua akan baik baik saja. Tolong bantu dengan doa saja”
”Jangan-jangan! Kamu jangan pulang. Cukup dengan doa”. Tetap saja Ibu melarang aku menengok Bapak yang sedang kritis.
Aku coba menyalakan lilin, dan berdoa.
Tapi dasar badan lelah banget, aku tidak sanggup berdoa lama lama. Apalagi berjaga. Doa singkat yang aku ucapkan berulang tiba tiba hilang. Entah kapan aku terlelap. Yang jelas ketika aku buka mata, hari telah pagi.

Selasa, 12 Jun 2001
Jam 10.00an aku di-call pacarku. Deg!!! Pasti ada kabar penting. Tidak biasanya dia menelpon jam segini.
”Mas, pulang, Bapak kritis” katanya singkat.
”Mas... Mas, dililake ya...” ujarnya lirih.
”Bapak tilar?” tanyaku pelan.
Dililake ya.....”
Telepon aku tutup.
Aku tertunduk di meja. Jemariku saling bertautan menyangga kepadalu. Air mata menggenang. Aku tarik nafas dalam dalam.
”Ibu Mel, saya ijin pulang. Bapak seda” ujarku ke atasanku.
Tak lama kemudian kakaku menelpon.
”Wis dikabari?”
”Wis”

”Sing tabah ya... kita ketemu di bandara”
”OK, ketemu di bandara”
Singkat saja telepon kakakku. Ada hati yang menjerit terdengar dalam suaranya. Suara kami tepatnya.

Aku dan kakak hanya bisa berpelukan di bandara. Diam. Tetap diam. Tak berkata apa apa. Hanya saling berpelukan, dan menepuk punggung. Air mata berlinang. Sedikit sesenggukan. Pelukan paling erat dari kakakku yang pernah aku rasakan.
Setiba di Adisucipto, kami segera menuju RS Panti Rapih. Beberapa kerabat sudah berkumpul. Ibu berdiri. Melangkah sedikit ke depan. Hanya dua langkah barangkali. Memeluk aku. Memeluk kakaku. Tiada kata yang terucap. Semua kelu, tak berkata apa apa. Ibu menggandeng kami, menuntun kami menuju ke peti jenasah Bapak.

Dalam isak yang sempat mencuat dari ketegaran hatinya, Ibu berujar.
“Deloken kuwi. Bapak mesem”
-Lihat itu. Bapak tersenyum-
Sebuah senyum terlihat tersungging di bibir Bapak.
“Apik, kabeh wis apik!”
“Sedane Bapak apik banget”


Setelah kami duduk, baru Ibu bercerita betapa indahnya kematian Bapak. Betapa tenangnya Bapak pergi.
Sungguh dua kalimat penghiburan luar biasa yang aku rasakan saat itu. Kalimat pendek saja, tapi sungguh menenangkan.
“Apik, kabeh wis apik”
“Deloken kuwi. Bapak mesem”


Terima kasih Bapak, sudah menunggui dan mengantarku aku sampai dapat pekerjaan yang aku harapkan.
Nyuwun pangapunten dereng saged bales punapa punapa


ini adalah satu satunya foto yang pernah masuk ke dompetku,

dan slalu aku bawa kemanapun sampai saat ini



Makassar, 11 Jun 2009

Dalam kenangan akan
Ignatius Wibawadjati, terlahir Oey Hong Tay
25 Des 1938 – 12 Jun 2001

13 comments:

  1. wah tahun kelahirannya sama dengan bapakku, dan bagus sekali...hari Natal.

    RIP. Bapakmu pasti sudah berbahagia di surga sana, bro. Semoga dia mau mendoakan kita yang masih tinggal di dunia fana ini.

    EM

    ReplyDelete
  2. Mas...
    aku nangis, sungguh aku nangis.

    Sedih sekali, tapi mendengar bapak mas pulang dengan tenang, jadi penghiburan.

    Semoga kapan2 kita bisa kopdar ya mas... biar bisa cerita cerita

    Pastinya bapak mas beristirahat dengan tenang dan tersenyum liat mas yang bisa sukses spt skr,

    salam, EKA

    ReplyDelete
  3. @ EM:
    Smoga demikian adanya...

    @ Eka:
    senang skali kalo bisa kopi darat, bukan hanya di dunia maya aja..
    kopi udara jg boleh

    ReplyDelete
  4. Papaku juga udah berpulang Mas.. beda setahun sama Bapaknya Mas..

    Mari sama2 kita doakan supaya mereka tenang di sana yaa.. Amiin

    ReplyDelete
  5. semoga Beliau Tenang disisi-NYA
    turut mendoakan buat beliau Bro

    ReplyDelete
  6. alur cerita ini begitu runut. Membawa siapapun yang membacanya larut dalam kesedihan yang begitu terasa kental.

    Sekalipun sedih, aku bisa merasakan betapa dirimu mencintai papamu, bang.

    ReplyDelete
  7. @ Ade : amien... terima kasih doanya, salam kenal

    @ afdhal: terima kasih kang... do something mumpung masih sempat

    @ yessy: i love him so much... meskipun tidak banyak saling bicara juga...

    ReplyDelete
  8. Aku ketinggalan cerita ini...
    Pantas saja, segala cerita tentang Ayah selalu berhasil membangkitkan rindumu buat Bapak, ya, Bro?

    Semoga senyum Bapak selalu diingat oleh anak-anaknya dan membuat mereka selalu bersemangat dalam menghadapi hari-hari mereka yang berat...

    ReplyDelete
  9. “Sedane Bapak apik banget”

    Bro ...
    Jujur ... mata saya berkaca-kaca ...

    Semoga Bapak tenang di alam sana ...
    Saya yakin dia sedang tersenyum sekarang ...

    Melihat Bro sudah berhasil ...
    Aku yakin itu bro ...
    Aku yakin sekali ...

    Salam saya

    ReplyDelete
  10. wah mengahrukan , ingat bapakku jadinya.tetap semangat ya

    Selamat siang

    ReplyDelete
  11. pasti bapak bangga sama mas,,,

    ReplyDelete
  12. @ Lala:
    Bener La, kalo Juni gini bawaannya mellow mlulu, apalagi kalo nyinggung tentang bapak, pertanyaanmu di FB terjawabkan..

    @NH18:
    Terimakasih om, smoga senyum itu terus menyemangati saya

    @kawanlama95:
    salam kenal, tetap smangat, live must go on

    @ Myryani:
    terimakasih... salam kenal

    ReplyDelete
  13. I know how deep your love is for your father..
    I hope he is happy in heaven now...

    shaloom..

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.