May 28, 2009

28 Mei 2006

27 Mei 2006
Ranjang tempat ku terlelap bergoncang keras. Aku terpental dari tempat tidurku. Dengan kesadaran yang baru ngumpul, aku segera keluar kamar, menuju tangga darurat, dan langsung menapakinya. Empat lantai tidak terasa. Sesampai di halaman hotel, orang orang sudah banyak disana. Wajah mereka pucat, bengong, cemas beraduk menjadi satu. Pasti wajahku seperti mereka juga.
Gempa!! Gempa besar terjadi. Gempa terbesar yang pernah aku rasakan sendiri.
Sesaat kemudian beredar kabar, Jogja luluh lantak!! Pusat gempa di selatan Jogja.

Ups..berkaca kaca neh ...

Oh ... My God!!
Aku sekarang di Solo. Kurang lebih 60 km dari Jogja. Disini saja terasa sangat keras mengguncang, bagaimana di sana. Bagaimana Ibu? Bagaimana Mas & Mbak? Bagaimana Pakdhe & Budhe... sahabat-sahabat!! Orang orang yang aku cintai, bagaimana kalian?
Segera aku coba kontak Ibu. Tidak nyambung-nyambung juga. Tulalit, nada sibuk, dan suara mbak Veronica bergantian menyahut call-ku.
SMS not delivered.
Setelah kurang lebih 1 jam masuk SMS dari Mas Edo. ”Kami baik-baik saja, Ibu ada di sini”
Plong... lega luar biasa mendengar mereka selamat semua. Puji Tuhan.
Namun kecemasan tetap saja menghantui. Jogja. Kota kelahiranku. Kota tempat aku tumbuh dan berkembang. Sahabat, guru, saudara, teman kerja banyak yang di sana. Bagaimana mereka?

Sore sekitar jam 15.00 aku bisa menghubungi Mas. ”Semua baik-baik saja. Rumah hanya genteng saja yang melorot dan retak dinding dapur semakin lebar saja. Ibu sehat-sehat. Tidak usah pulang. Malah ngrepoti kamu. Kami baik-baik saja. Dah, kamu tenang saja. Tidak usah panik. Oh ya... HP kami lowbat, kalo tidak bisa kontak tidak usah bingung. Listrik padam. Kami tidak bisa nge-charge
Dalam hati aku ngeyel, kondisi seperti gini tidak boleh pulang. Disuruh tenang lagi. Mana bisa? Memang sifat Bapak yang satu ini mau tidak mau menurun ke kami juga. Tidak mau ngerpoti orang lain.

Hari itu aku dinas di Solo dengan gundah. Teman-teman se-project juga resah.

28 Mei 2006 – tepat 3 tahun lalu.
Aku bersama teman-teman se-project bergerak ke Jogja. RS. Bethesda. Mencoba memberi apa yang kami bisa.
Bus yang kami tumpangi melintasi Klaten. Sepanjang jalan kami hanya bisa mlongo. Hening. Termangu. Menatap kosong pada puing-puing bangunan. Reruntuhan bangunan itu meruntuhkan kesombonganku juga. Hanya debulah aku di alas kaki-Mu.

Sesampainya di RS Bethesda, hatiku makin terkoyak. Lahan parkir dijadikan tempat perawatan sementara. Gang-gang rumah sakit penuh dengan pasien. Rintih kesakitan menjadi senandung yang melantun membawa kepedihan.
Apa yang kami bisa? Kami tidak punya kemampuan apa-apa untuk menolong. Bahan makan dan selimut sudah kami serahkan. So...
Eit... tunggu dulu. Temen temen se-project kuat kuat. Lha wong atlet basket nge-top semua mereka. Dengan tenaga yang ada kami menjadi ”kuli”. Menggotong korban yang datang, maupun memindahkan beberapa korban untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sekedar memegang kantong infus pun tak apa lah.
Juga donor darah. Tuhan ini darah milikMu juga, pakailah untuk menolong mereka.

Berikut sejumlah dokumentasi yang sempat terekam. Nah.. kalo ini dokumentasi bukan aku yang ambil. Tapi rekan kerja yang lain. Aku upload di sini yan Mas DnK







May – 2008, 2 tahun setelah gempa.

Aku mendengar percakapan tetangga salah satu keluarga yang tinggal di Pundong, Bantul. Salah satu tempat paling parah akibat gempa 5.9 richter tahun 2006.

”Untung lho awake dhewe iki. Pancen okeh sing dadi korban. Pancen okeh sing tilar. Omah-omah dha ambruk. Ning sing dipendhet Gusti dudu panguripane dhewe. Ra kaya Lapindo. Sawah sawah dha klelep. Matine rak alon-alon to kuwi”
(Beruntung kita ini. Memang banyak yang jadi korban. Memang banyak yang meninggal. Rumah-rumah roboh. Tapi yang diambil Tuhan bukan penghidupan kita. Tidak seperti Lapindo. Banyak sawah tenggelam. Meninggalnya kan pelan-pelan)

Uh... kepasrahan dan rasa syukur yang luar biasa. Penyerahan diri yang membuat mereka, para korban, mampu bertahan dan mulai bergerak lagi untuk bangkit. Luar Biasa!!!

By the way, jangan lupa dengan Lapindo ya. Kasusnya belum tuntas lho...
Gempa Jogja & Lumpur Lapindo, dua bencana yang hampir bersamaan terjadi.
SBY Berbudi, JK-Wira- Mega-Prabowo... ingat Lapindo lho... mereka tercabut dari penghidupan mereka.


Pare Pare, May 09

May 26, 2009

Pret...Cepret... Potret

Pret... Pret... Cepret..
Bunyi khas kamera membawaku pada kenangan pada tahun 80an, ketika aku masih SD. Pada pertemuan keluarga besar, alias pertemuan Trah Karijapijoga di Muntilan, saat itulah pertama kali aku menekan tombol kamera. Pret... seiring kilatan lampu blitz yang menyala.
Hanya satu cepretan saja, namun cukup menjadi gerbang bagiku untuk masuk hobby yang satu ini. Fotografi.

Dengan sangat antusias, aku mencoba mendeskripsikan apa yang sempat aku jepret dengan kamera kepada Bapak. "Pasti OK Pak, penarinya sedang mengangkat kaki, selendangnya melambai gagah..." Demikianlah kurang lebih penggambaran yang aku berikan ke Bapak sepanjang perjalanan pulang. Bapak menanggapinya dengan serius sambil tersenyum simpul. "Kita lihat hasilnya nanti yach.."

Eng ing eng.. dua atau tiga hari kemudian, Bapak pulang sambil membawa hasil dokumentasi pertemuan trah. Tentu saja setelah filmnya dicuci cetak. Ups... apa yang terjadi....
PANTAT.. man!!!
Yach penari yang dengan gagah telah aku deskripsikan ternyata bagian belakang tubuhnya saja yang tampak... Lambaian selendang hanya tinggal kenangan karena yang terpampang adalah seonggok kain nglemprek.
"Lain kali latihan lagi ya...." hibur Bapak waktu itu.

Beberapa tahun kemudian, ayah sudah berani memberiku "pegangan" kamera untuk menyalurkan hobby. Dan mereknya adalah... Argus!!! What..!!! Kamera apa tuh.. ? Nama yang baru aku kenal pada saat menerima kamera dari Bapak. Bukan kamera baru, tapi kamera bekas. Tapi lumayanlah, sudah memegang kamera sendiri. Hasilnya lumayanlah untuk seorang anak SD.

-sayang saat ini hasil jepretan masa kecilku belum bisa aku share disini... maklum semua dalam bentuk hard copy, dan masih tersimpan di Jogja... belum di-scan -

Fotografi memang merupakan hobby yang cukup mahal (bahkan sampai saat ini masih terasa mahal), apalagi dulu semua harus dicetak jika ingin lihat hasilnya, tapi untung sekali Bapak sangat mensupport hobby itu.
Sebagai penjual barang bekas alias loakan di pasar Beringharjo, Bapak sering mendapat kamera atau lensa bekas yang kondisinya masih cukup OK. Sebagai pedagang mungkin Bapak cukup "aneh". Jika mendapat barang bagus, Bapak tidak menjual lagi supaya mendapat untung besar, tapi justru dibawa pulang. He..he..he.. tentunya aku dan Mas Edo yang senang.

Selain kamera Argus itu, selanjutnya aku diberi pegangan beberapa kamera yang lain, aku tidak hafal dengan pasti.. Maklum lumayan banyak kamera yang sering aku pakai, lha wong pada dasarnya adalah dagangan Bapak di pasar. Yang aku ingat sih, pernah apakai Canon, Olympus, dan yang paling lama aku pegang adalah Nikon FM-2. Kadang juga memakai Nikon F-2 jika sedang tidak dipakai Bapak atau kakak. Dan semuanya tentu saja... bekas.

Karena merupakan hobby yang cukup mahal, saat SMA & kuliah, seringkali aku ikut dalam kegiatan sekolah/kampus, tentus saja dengan spesialisasi Sie Dokumentasi. He..he... menyalurkan hobby mumpung dibayari.
Namun sejak mengerjakan tulisan akhir dan bekerja hobby itu terhenti sama sekali. Maklum mesti hijrah ke Jakarta, dan semua kamera aku tinggal di Jogja. Lama tak pegang kamera. Tidak punya.

Setelah sekian lama menabung, akhirnya pada tahun 2007 awal, aku bisa membeli kamera sendiri. Meskipun kamera ecek-ecek, tapi suerrr.. itu satu satunya kamera yang pernah aku beli. Setidaknya sampai saat ini. Waktu itu sebenarnya ingin beli yang lebih OK, tapi karena keuangan terbatas yach terpaksa harus berkompromi situasi yang ada. Lumix FZ50 cukuplah..

Bicara hasil jepretan... wah masih jauh dari yang diidam-idamkan. Beberapa sudah sempat aku share di sini, just dokumentasi saja kan? Kalo mau mencari nilai seni atau artistik dan sebagainya.... nanti dulu lah. Masih jauh.
Berbeda dengan kakakku, Mas Edo. Lumayan bisa dinikamatilah karyanya. Apalagi didukung dengan hobby-nya ber-back packer ria bersama sang istri, mbak Tita. Klop dah... Kemampuan foto OK, object OK. Hasilnya (menurutku) OK OK banget.

Yach.. jeprat jepret dengan kamera alias fotografi adalah "satu-satu darah" yang mengalir dari Bapak dalam diri kami berdua. Aku dan Kakakku.
Tradisi leluhur Bapak... blank, tidak tahu sama sekali.
Darah dagang... hmmmm nanti dulu.
Darah masak memasak.... eit.. itu sama sekali tidak mengalir dalam darah kami.

Pare Pare
May 09

May 22, 2009

Gotham City

Dimanakah kota kelelawar?

Apa yang terlintas di benak kita jika kita dilontari pertanyaan seperti itu? Mungkin akan terlintas dibenak kita Gotham City, tempat Batman beraksi. Atau somewhere di lembah Arizona, sebagaimana digambarkan dalam film thriller Bats.
Atau mungkin ada juga terlintas kota Soppeng.

Soppeng? Wattansoppeng? Mana itu? Why??

Yup... Soppeng atau lebih tepatnya Wattansoppeng, adalah kota kecil, yang menjadi ibukota kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan.

Sangat tepat jika kota kelelawar adalah Gotham City di dunia nyata. Bukan fiksi.

Kota ini sangat unik, karena tepat ditengah kota, terdapat ribuan atau bahkan puluan ribu kelelawar bergelantungan. Anehnya lagi, kelelawar-kelelawar tersebut hanya bergelantungan di pohon asam sekitar masjid raya saja. Bukan ditempat lain. Dan jangan dibayangkan kelelawarnya kecil-kecil. Sebesar kucing-kucing bo....

Sejak kapan kelelawar-kelelawar tersebut mulai bersarang di pusat kota Soppeng tidak ada yang tahu dengan pasti. Menurut kesaksian orang-orang tua, kelelawar itu sudah ada sejak mereka kecil. Bahkan mereka juga mendengar bahwa orang tua mereka juga sudah hidup bersama dengan kelelawar-kelelawar tersebut. Jadi secara temurun warga Soppeng menjadi saksi adanya fenomena ini. Namun demikian dalam naskah-naskah tua, seperti lontara, tidak disinggung sama sekali tentang keberadaan kelelawar-kelelawar.
(sebagaimana kita ketahui bersama lontara adalah salah satu sumber sejarah yang menjadi rujukan jika ingin mempelajari "seluruh" Sulawesi Selatan pada masa lampau)
Bagi kita, orang luar Soppeng, mungkin aneh dengan keberadaan kelelawar tersebut. Namun bagi warga asli yang sudah sekian puluh tahun hidup bersama, kehadiran kelelawar tersebut menjadi hal yang biasa. Bau menyengat dan pekik kelelawar sudah tidak mengganggu lagi.

Bahkan jika kelelawar-kelelawar tersebut pergi dan tak kembali, warga di Soppeng justru takut. Pertanda buruk. Sesuatu bencana atau musibah akan datang ke kota Soppeng. Yach... mereka percaya bahwa kelelawar itu bukan kelelawar biasa.
Pernah pada tahun 1990an, kelelawar-kelelawar tersebut pergi dan tidak kembali lagi, karena salah satu pohon besar, tempat tinggal kelelawar, ditebang oleh pemda demi pembangunan kantor. Tak lama kemudian, kebakaran besar menghanguskan pasar sentral. Pusat ekonomi dan kehidupan kota Soppeng luluh lantak.
Kelelawar-kelelawar itu kembali ke Soppeng setelah diadakan upacara pemanggilan mereka.

Di kota-kota sekitar Soppeng juga beredar mitos, bahwa jika kita terkena kotoran kelewar itu, kita akan berjodoh dengan warga Soppeng. So kalo ada yang pingin cari jodoh orang Soppeng, berdiri saja dibawah pohon itu, sambil berharap dapat "rejeki" nomplok... yyyeaachh!!!

Sungguh beruntung sore ini aku sempat mampir di Soppeng, sehingga bisa share pemandangan luar biasa. Bersamaan dengan kumandang adzan Maghrib, lepas landas-lah ribuan kelelawar, meninggalkan sarangnya. Suara teriakan kelelawar yang berkeciap, menjadi senggakan bagi merdu kumandang adzan.

Yach.. kumandang adzan selalu mengiringi kepergian maupun kedatangan kelelawar Soppeng.
Maghrib mereka terbang, dan Subuh mereka pulang.
Kemana mereka pergi dan dari mana mereka datang tidak ada yang tahu secara pasti.
Mungkin mereka mengunjungi saudaranya di Gotham City sana...

Namun sayang, camera yang kubawa cukup jadul, dan cuaca agak mendung. Jadi mohon maaf, gambar tidak bisa terlihat dengan jelas.

Satu hal lagi yang mengundang tanya dalam benakku. Di pinggiran kota Soppeng banyak anjing berkeliaran di malam hari. Tampaknya liar tak bertuan.
Di kota yang terkenal Islami ini, mengapa banyak berkeliaran makhluk yang diharamkan yach??
Soppeng,
May 09

May 19, 2009

Time Out

Waktu SMA, aku kadang iri dengan teman-temanku yang bisa bercanda, dan bermanja-manja dengan ibunya. Ih.. kenapa aku tidak bisa.
Ini pasti karena Ibu sibuk dengan pekerjaannya.

Tapi sekarang iri itu menjadi syukur tak terhingga, ketika aku melihat sekelilingku. Betapa banyak bayi yang masih sangat kecil telah ditinggal kerja oleh kedua orang tuanya. Baru 3 bulan sudah ditinggal.
Syukur banget aku masih ditunggui oleh ibu, meskipun hanya sampai kelas 2 SD.

Terkenang indah ketika aku disuapi ibu sambil dibacakan buku.
Atau ketika terayun ayun di boncengan sepeda "jengky" biru yang udah butut ketika diantar jemput Ibu waktu TK dan kelas 1 SD. Oh indahnya...
Indah bagiku.. tapi mungkin ngos-ngosan buat Ibu. Lha wong lumayan jauh je ... 4-5 km di terik matahari.

Terima kasih Ibu, karena telah rela keluar dari pekerjaanmu waktu itu.

Ibu ketika gadis adalah seorang perawat di salah satu RS di Jogja.
KetikaIbu memutuskan untuk menikah dengan Bapak, dengan rela Ibu keluar dari pekerjaannya.
Ibu mengandung kakakku, satu setengah tahun setelah pernikannya.
Setelah kakakku lahir, kemudian menyusulah diriku ini dikandung Ibu tiga tahun kemudian.

Ketika aku kelas 1 SD, Ibu mulai sering bermimpi bertemu dengan teman-teman sekerja dulu. Teman sekerja, sekaligus teman seangkatan, sekaligus teman seasrama. Karena memang Ibu lulusan sekolah perawat yang mengharuskan Beliau untuk tinggal di asrama.
Yach.. yang diceritakan padaku, mimpi itu hadir setelah aku kelas 1 SD.
Tapi bisa jadi sejak Ibu keluar dari pekerjaannya mimpi itu telah hadir.
Dalam mimpinya, Ibu bertemu teman-temannya dan mereka mengajak Ibu untuk gabung kerja lagi.

Maka setelah aku dianggap cukup besar dan bisa ditinggal, kelas 2 SD, Ibu kembali menjadi perawat. Di rumah sakit yang sama.
Teman-temannya telah banyak yang menjadi kepala unit, atau perawat senior. Ibu kembali menjadi perawat dari nol. Dengan tekhnologi kedokteran yang sudah cukup jauh di depan jika dibandingkan ketika Ibu keluar.

Meski menjadi perawat, Ibu tidak meninggalkan kewajibannya sebagai ibu. Semua kebutuhan telah disiapkan oleh Ibu sendiri. Tanpa asisten sama sekali.
Pagi-pagi sekali Ibu menghangatkan makanan yang sudah dimasak pada malam sebelumnya.
Pakaian juga telah disetrika dengan rapi. Rumah telah dibersihkan.
Luar biasa Ibu....

Saat ini Ibu telah pensiun sebagai perawat RS itu, namun masih terus menjadi asisten di praktek dokter setiap Senin, Selasa dan Sabtu.
Dokter tersebut cukup kondang di Jogja dan banyak pasiennya, sehingga kadang di usia senjanya Ibu harus pulang jam 23.00 bahkan lebih. Sampai saat ini peran ibu di tempat dokter itu belum tergantikan. Karena Ibu adalah satu-satunya perawat di situ yang bisa nyontik bayi dengan baik.
Semua dijalani dengan senyum. Senyum yang sama dengan apa yang aku lihat waktu kanak-kanak dulu. Oh, betapa teduhnya senyum itu...
Dan masih.... Ibu tidak mau ditemani asisten untuk mengurus rumah.

Terima kasih Ibu untuk semuannya.
Untuk semua pengorbanan ketika engkau mengambil "time out" dari pekerjaanmu. Time out yang cukup panjang, 12 tahun. Demi bisa menjagai aku dan Mas Edo.

ups... berkaca-kaca neh waktu nulis

Matur nuwun ibu..
Sembah sungkem kula..
Nyuwun pangapunten asring damel ibu repot, sebel lan duka
Nyuwun sewu, dereng saged paring menapa menapa

Palopo,
May 09

May 15, 2009

Biar Saja Dia Tidak Berpuasa....

Ini tulisan yang aku buat satu setengah tahun lalu, dibuang sayang:

Waktu saya membuka-buka catatan harian, saya menemukan tulisan ini. Tulisan ini saya buat kurang-lebih 3 tahun yang lalu, di Jogja

Jl. Magelang, jam 13.32, 3 hari jelang Lebaran

Hari ini kudengar percakapan seorang anak dengan kakeknya.

Kek, lihat orang itu. Masa puasa-puasa gini makan dipinggir jalan.

Biar saja dia tidak berpuasa ... Coba perhatikan orang itu! Kurus sekali, pakaiannya sangat kotor. Coba kamu perhatikan cara dia makan nasi kotak itu. Sangat lahap, bahkan kadang agak kesulitan menelan karena tergesa-gesa. Sepertinya lapar benar dia.

Tapi ini kan bulan puasa?

Biar saja... kita hanya puasa hanya 1 bulan Nak, tapi lihat pemulung itu... bisa jadi dia sepanjang tahun harus menahan lapar dan haus. Memang bukan karena puasa, tapi karena kondisi. Bisa jadi dia hanya makan sehari sekali, sedangkan kita meskipun puasa, tapi masih sempat sahur dan nanti buka puasa. Apa lagi kamu, kalo malam masih ngemil lagi.

(bus yang aku tunggu kubiarkan melintas, karena aku ingin belajar dari kakek itu)

Memang kek, tapi bukannya dia harus cari tempat yang tidak kelihatan orang, supaya tidak menggoda yang sedang puasa?

Biar saja ... Kamu baru lihat segitu aja sudah kepingin. Coba bayangkan kalo bukan bulan puasa. Dia hanya bisa melihat orang lain makan. Dia mesti menahan ”godaan” itu sepanjang tahun Nak...

Tapi kata Pak Ustadz Kek...

Nak, kamu puasa kan? Buang pikiran yang enggak-enggak. Jalani saja puasamu dengan sebaik-baiknya. Biar saja orang lain tidak puasa. Puasamu biar untuk yang di Atas. Jangan mudah menilai orang... Sabar...

Kek, ngomong-omong dari mana orang itu mendapat nasi kotak? Jangan-jangan dari tempat sampah Kek, kan kotor?

Wah kalo itu Kakek tidak tahu.

Barangkali dari sedekah ya Kek, kan kalo dah deket lebaran gini banyak orang yang bagi-bagi nasi kepada para pengemis dan gelandangan.

(Percakapan terhenti, mereka masuk ke dalam bus yang mereka tunggu)

Hari ini aku mendapat pelajaran. Thanks God sudah Kau ingatkan aku.
Makasih Kakek....


(end of diary)

Balikpapan,
Ramadhan 07

May 14, 2009

Balonku (Ada Lima)

Tentu sebagian besar dari kita telah tahu lagu “Balonku”, atau kalo belum tahu coba deh googling “Balonku Ada Lima”.
Akan banyak sekali dijumpai tulisan yang membahas masalah lirik lagu tersebut, terutama mengenai urutan warna sang balon.
Kelompok pertama kenal urutan warnanya sebagai : Hijau – Kuning – Kelabu – Merah Muda – Biru
Namun banyak juga yang kenalnya: Merah – Kuning – Kelabu – Merah Muda – Biru pada kelompok yang lain.

Kelompok pertama bisa menerima dengan lapang dada, sedangkan kelompok kedua (setelah besar) mempertanyakan “logika” lagu tersebut, karena syair berikutnya adalah “… meletus balon hijau…”

Ketika aku coba cari wikipedia, terdapat lagu Balonku dalam list Lagu Anak Indonesia, ciptaan Pak Kasur. Namun jika kita telusuri lebih lanjut tidak ada keterangan lebih detail mengenai Balonku maupun Pak Kasur.
Bahkan jika dilihat dari log yang ada, telah terjadi saling hapus syair lagu tersebut, akibat perbedaan warna tersebut.

Belum ada yang menjelaskan, atau lebih tepatnya, belum ada yang meneliti mengapa perbedaan ini terjadi, dan mengakar kuat dalam masyarakat kita.
Ada yang berteori, bahwa ada suatu masa sekitar tahun 60-an dimana merah dan hijau saling bermusuhan dan berusaha meniadakan satu sama lain. Ini yang mempengaruhi perbedaan itu (entah yang Merah meniadakan yang Hijau, atau sebaliknya yang Hijau meniadakan yang Merah). (kalau sekarang meletus balon apa ya? Hijau, Merah, Biru, atau Putih? He..he..he..)

Ada juga yang menganggap, ini terpengaruh lagu Pelangi, ”...merah kuning hijau... di langit yang biru....”
Diperparah dengan urutan trafict light yang Merah Kuning Hijau... sehingga seolah olah jika menyebutkan urutan warna, ”harus” diawali dengan merah.

Atau ada juga yang bernalar seperti ini:
”Yang meletus milik orang lain, nah karena sifat luhur bangsa kita, si pemilik balon memberikan satu balon miliknya ke orang lain tersebut" (nice try... he..he..)

Terlepas dari mana yang benar, satu pelajaran yang bisa kita ambil:
Apa yang terekam waktu kecil, akan terus dipegang/dipercaya hingga dewasa, walau kadang tidak logis.
So... harap berhati hati yach, rekaman anak-anak terhadap sekeliling sangat tajam dan kuat.

Note:
Berdasarkan observasi sementara (yang masih harus dibuktikan lagi kebenarannya), kelompok kedua banyak berasal dari orang-orang yang masa kecilnya di Jawa Tengah – Jawa Timur (termasuk Jogja)

Surabaya, May 09

May 12, 2009

Senja Dibalik Jendela

Kantorku terletak tidak jauh dari pantai, hanya terpisah satu blok saja. Dan ruang kerjaku, terletak di lantai 3. Cukup tinggi untuk dapat memiliki pandangan yang lumayan luas dan lepas.

Dari balik ruang kerja aku dapat melihat luas laut yang terbentang. Di kejauhan tampak tanjung dengan perkampungan di ujungnya. Ujung Lero. Sebuah menara masjid berdiri menjulang di kejauhan.

Kapal-kapal nelayan bertaburan di kejauhan. Kadang kapal-kapal besar juga melintas. Memang yang terpampang di balik jendela ruang kerjaku adalah pintu gerbang menuju pelabuhan kota ini.

Pemandangan yang bisa aku jadikan tempat pelarian dari seabreg pekerjaan. Pelepas lelah mata setelah berkutat dengan layar laptop. Hiburan murah meriah... he..he..he.

Sore itu aku berdiri memandang lautan. Matahari mulai bergerak ke ufuk barat. Terus bergerak. Tenggelam.

Dari masjid di sebelah kantor berkumandang adzan Maghrib. Terdengar merdu, menghanyutkan diriku.... terdiam ..... merenung... dalam... dalam... semakin dalam...
Sungguh indah...

Allahu Akbar!! Allah Mahabesar!!

Surabaya, May 09

May 8, 2009

Gunung Nona

Jamrud Kathulistiwa.
Tak salah memang julukan itu diberikan kepada negeri ini. Memang indah mempesona alam Indonesia. Juga kaya raya. (tapi siapa yang menikmati ya??)
Setitik keindahan Gunung Nona di Bambapuang yang coba aku share di sini.

Bambapuang adalah desa yang terletak di Kab. Enrekang, Sulawesi Selatan. Jika kita akan ke Tana Toraja dari arah Makassar, tentu akan melewatinya. Cara mengenalinya mudah.
Selepas dari kota Enrekang ke arah Tana Toraja, kita akan melewati sederetan warung-warung di kanan jalan. Coba berhentilah di sana. Sambil menikmati minuman hangat kita bisa menyaksikan indahnya pemandangan Gunung Nona.

Nama asli Gunung Nona sebenarnya adalah Gunung Buttu Kabobong. Kata kabobong dalam bahasa lokal berarti "sesuatu yang selayaknya disembunyikan". Orang dari luar area, daripada susah susah menyebut Buttu Kabobong, lalu menyebutnya sebagai Gunung (maaf) Vagina.
Karena kurang enak di dengar, kemudian disebut sebagai Gunung Nona.

Sungguh beruntung aku punya kesempatan untuk menikmati si indahnya pemandangan Buttu Kabobong beberapa saat yang lalu.
Berikut ini sekelumit keindahan yang terekam:

(Hayo... siapa yang berimajinasi melihat kabobong??)

Imaginasiku melayang, seakan akan ada negeri di awan pada puncak bukit itu. Dan terbayang pada tebing-tebing di kejauhan. Seakan ada aroma mistis dibalik awan tipis yang menyelimuti. Gambaran awamku tentang Tana Toraja semakin memperkuat imaginasi itu.

Imaginasiku buyar ketika seekor burung terbang melintas. Tidak tahu pasti burung apa, mungkin elang. Tapi yang jelas tampak anggun dan gagah sekali dia membentangkan sayapnya diatas lembah-lembah dan tebing-tebing.




(pantas yach, banyak negara yang menggunakan burung perkasa ini menjadi lambang negara).

Tapi sayang sekali, sangat sedikit waktuku untuk menikmati si Nona yang satu ini. Karena aku harus segera ke Rantepao, dan mencoba menikmati sekilas keindahan Tana Toraja, dan malamnya harus sudah sampai di Palopo untuk ketemu seseorang.

Syukurlah bisa menikmati indahnya setitik jamrud disela sela tugas kantor.

-Kisah tentang Toraja dan perjalanan ke Palopo akan menyusul pada tulisan selanjutnya-

Enrekang - Tator

May 09

May 5, 2009

Anak Bajang Menggiring Angin

Anak Bajang Menggiring Angin adalah judul karya sastra karangan Sindhunata SJ. Terbit tahun 80-an, tapi baru aku baca ketika SMA, tahun 1993.
Bagiku buku ini sangat istimewa. Saking istimewanya aku telah membaca buku ini lebih dari 5 kali. Jika ada buku yang aku baca dari awal sampai akhir secara berulang-ulang ya hanya buku ini.
Jauh lebih banyak dari buku-buku diktat kuliah maupun pelajaran sekolah.
Memang ada buku "wajib" ketika kuliah yang aku baca belasan kali, tapi hanya bagian-bagian tertentu saja (karena nggak dong dong, "untuk setiap epsilon positif, terdapat delta positif, sedemikian sehingga...... " .....halah kok malah definisi limit yang tertulis??). Bukan dari awal sampai akhir seperti Anak Bajang Menggiring Angin.

Apa gak bosen tuh baca buku lebih dari 5 kali?
Tidak!! Karena setiap kali membaca, aku selalu dapat menemukan hal-hal baru, pelajaran baru, atau nilai-nilai baru.

Menurut saya ada 2 kekuatan utama buku ini, yaitu bahasa yang indah, puitis, mempesona serta kedalaman isi, pemaknaan, permenungan yang bisa dipetik sebagai pelajaran. Tidak heran jika aku setiap kali membaca buku ini pasti menemukan sesuatu yang baru.

Coba nikmati petikan ini:
...Cahaya itu adalah Sastra Jendra dalam hatimu sendiri. Maka, jangan camkan aku. Camkan hatimu sendiri. Tak ada manusia atau pribadi. Yang ada hanyalah manusia dan pribadi dalam hatimu. Kebijaksanaan manusia tersembunyi dalam hatimu sendiri seperti malam yang bersayapkan terang, seperti kehidupan bersayapkan kematian. Kebijaksanaan hati itulah Sukesi, yang seharusnya bicara dan kaupatuhi...
(-wedaran sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu oleh wisrawa kepada sukesi-)

indah dan dalem banget!!

Untuk bisa menikmati indahnya kalimat kalimat yang terangkai dalam buku ini, kadang kita "harus melepaskan" makna harafiah yang tertulis. Aku tidak perlu tahu apa itu pohon angsana, asoka, burung tadah asih, atau banaspati dan warudoyong. Aku juga tidak terlalu pusing dengan frasa anak bajang menggiring angin. Karena setelah membaca keseluruhan buku itu, menjadi tidak berarti lagi apa itu anak bajang menggiring angin secara harafiah.

Beberapa sahabat yang pernah aku beri kado buku ini, ketika melihat judulnya bertanya," Apa sih anak bajang?"
"Kalo anak bajang sih aku gak tahu, tapi kalo rambut bajang aku tahu. Itu tuh... rambut yang belum pernah dipotong sama sekali. Bayi yang baru lahir tuh.. rambutnya rambut bajang. Ato di dalam masyarakat di sekitar pegunungan Dieng, ada beberapa anak yang rambutnya gimbal. Dan jika akan dipotong harus diadakan upacara ruwatan terlebih dahulu. Nah... anak-anak itu disebut anak (berambut) bajang. Udah baca aja, ntar kan tahu maknanya anak bajang".

Memang dalam membaca buku ini, aku juga tidak terlalu sibuk mencari makna yang terkandung dalam setiap kalimat atau paragraph. Aku biarkan mengalir saja, maka keindahan kata yang terangkai dan kedalaman makna itu akan muncul dengan sendirinya.

Di halaman depan buku Anak Bajang Menggiring Angin ini, aku tulis catatan kecil
" .. inilah kisah perjalanan
kerinduan, cinta dan harapan
menyusuri kehidupan
menggapai kegenapan ..."
Yach itulah "inti sari' buku itu bagiku.

Boleh dibilang buku ini telah menjadi salah satu inspirasi, sehingga aku menjadi seperti sekarang ini.
Terimakasih Rm. Sindu....

"...jangan bermegah atau sombong kalau kau merasa telah melakukan perbuatan baik, kau hanyalah jalan dan kesempatan bagi kebaikan untuk menjelma"

Pare Pare
May 09

May 4, 2009

"X" kurang 5

Ini adalah tulisan untuk membayar hutangku pada tulisan sebelumnya yang berjudul Paraban.

"X" kurang 5 merupakan paraban yang disematkan oleh temen-teman sekelasku untuk si "X". Untuk lebih enaknya kita ganti saja "X" menjadi Rei. Jadi paraban-nya adalah Rei kurang 5. Tentu saja Rei disini adalah nama samaran.

Waktu itu aku telah duduk di kelas 3 SMA. Sebagai informasi kelasku terletak di lantai 3, menghadap ke gerbang utama sekolah.
Seperti biasa, sebelum pelajaran dimulai, kami biasa ngobrol ngalor ngidul di kelas. Tempat favorit untuk morning session adalah di sudut belakang kelas kami. Dari tempat itu kami memperhatikan teman-teman yang memasuki halaman sekolah. Seperti scanner saja. Kami ngrasani temen-teman atau guru yang lewat di bawah sana, atau sesekali mengagumi kembang-kembang sekolah yang melintas.

Ada satu hal yang menarik.
Setiap 5 menit sebelum bel berbunyi, pasti ada mobil kuning dengan warna yang cukup ngejreng berhenti di gerbang sekolah. Lalu munculah Rei dari dalam mobil itu dan melangkah anggun memasuki halaman sekolah.

Lama kelamaan si Rei menjadi penanda waktu. Jika Rei datang, berarti 5 menit lagi bel masuk berbunyi. Jadilah si Rei kurang 5 (menit).

Pernah suatu kali, listrik di sekolah kami mati, sehingga bel tanda masuk juga tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Kami masih ngobrol dengan asiknya ketika ibu guru bergabung dengan kami, dan menyela:
"Yuk... mulai pelajarannya"
Upppsss..... ternyata beliau udah masuk kelas dan temen-temen yang lain sudah duduk dengan manis di bangku masing-masing. Tinggal kami bertujuh saja yang masih "diskusi pagi"

"Lho... tapi kan Rei kurang 5 belum datang Bu?"
"Siapa? Rei kurang 5?"

Apa kabar Rei? Sekarang ke kantor masih kurang 5 tidak?
Kalo mobil sih aku tahu pasti, sudah tidak pakai mobil kuning ngejreng itu lagi.

Pare Pare
May 09

May 2, 2009

Paraban

Paraban, dalam bahasa jawa berarti nama panggilan atau sapaan tapi penggunaannya terbatas pada kalangan atau komunitas tertentu saja. Istilah menterengnya nick name. Hampir bisa dipastikan paraban berbeda sama sekali dengan nama asli yang tertera di akta kelahiran atau ijazah.

Paraban bisa berasal dari ciri fisik seseorang, penampilan atau kebiasaan seseorang, peristiwa tertentu yang dialami, atau dari sumber-sumber lain yang tidak terlalu jelas asalnya.
Contoh paraban yang berasal dari ciri fisik seseorang antara lain: "Si Buta (dari Goa Hantu)", Si Codet, Si Pincang, dsb.
Sedangkan paraban dari penampilan atau kebiasaan seseorang, misalnya: Si Klimis (karena penampilan rambutnya yang selalu tertata rapi, berminyak sangat banyak, dan dari pagi sampai sore tidak pernah berubah tatanan rambutnya), Si Cerewet, dsb.
Contoh paraban yang berasal dari peristiwa tertentu banyak diceritakan Andrea Hirata dalam Maryamah Karpov.
Ato dalam kehidupan nyata yang pernah aku temui adalah, si "X" kurang 5. (tapi jangan diartikan 'kurang 5" itu perhubungan dengan kemampuannya ya... please... lain kali akan aku ceritakan deh tentang X kurang 5 ini)
Nah kalo yang asalnya tidak jelas, mungkin bisa mengambil "Minke" dalam tetralogi-nya Pramoedya Ananta Toer sebagai contoh.

Berikut ini adalah paraban-paraban yang aku sandang.

-Bre-
Ini adalah paraban yang disematkan oleh teman-teman SMA. "Bre" ini aku sandang mulai kelas 2 SMA. Tapi jangan dianggap Bre itu gelar yang cukup mentereng di jaman Majapahit dulu. Bre di sini tidak sama dengan Bhre Kertabumi, Bhre Pandansalas, atau Bhre - Bhre yang lain di masa Singosari - Majapahit.
"Bre.....wok" Yach, dari kata brewok itulah muncul paraban BRE. Memang pada saat itu di wajahku mulai tumbuh brewok. Sebenarnya beberapa teman yang lain juga mulai tumbuh brewok, tapi entah mengapa yang dipanggil "bre" hanya aku.
Mungkin karena pada waktu itu aku sering mencabuti helai demi helai brewok yang ada di daguku... Apalagi kalo otak ini tidak sanggup lagi menangkap apa yang diterangkan guru di depan.
Udah deh.. dari pada pusing, lebih baik ambil posisi (paling nikmat menurutku saat itu)... duduk dengan punggung bersandar di kursi, tangan kiri terlipat di dada... trus tangan kanan mengelus dagu... dan jika ada brewok yg terasa kasar dan nyekrik ... mulai deh ibu jari dan jari tengah berkolaborasi untuk mencepit sang brewok... dan... dhel.... selembar brewok tercabut bersama akarnya.
Yup... itu sepenggal kisah paraban si -Bre- yang kadang masih tercetus diantara teman-teman saat reuni tahunan.

-Obel-
Ini adalah nama paraban di kampus. Bukan dari awal masuk kuliah, tapi setelah semester 6 berlalu, waktu kami akan membuat jaket program study seangkatan.
Obel, berasal dari kata Obelix. Salah satu tokoh idola dalam komix Asterix. Karena tubuhku yang "sedikit" tambun, dan kebetulan aku suka tokoh Obelix, maka temen temen menyematkan nama Obel untuk diriku ini (ketika menulis ini sambil membayangkan Obelix sedang menyantap satu celeng panggan utuh... slurrrppp)
Nama ini masih terbordir dengan manis di jaket yang kami buat, "OBEL". Paraban ini sudah sangat jarang aku dengar, karena jujur saja, aku sudah sangat jarang bertemu teman-teman se-program study seangkatan yang tidak sampai 25 orang itu.

-Mas Ndut-
Kapan paraban ini mulai tersemat aku tidak ingat dengan pasti, yang jelas ini tersemat setelah aku pacaran dengan mantan pacarku. Dan sebutan "Mas Ndut" hanya beredar di kelurga mantan pacarku itu. Kalo asal kata tidak sukar ditebak, Ndut... Gendut.
Kalo dilihat pembagian diatas.... jelas ini berasal dari ciri fisik yang melekat padaku.

-Bro Neo-
Ini paraban yang aku "deklarasikan" pertama kali melalui email ke teman-teman akrab di tempat kerja. Dan hanya beredar dalam tulisan saja.
Memang diantara kami sapaan "Brooowww..." kerap terdengar. "Thank you bro....", "Gmana bro... ?" dan bro-bro yang lain ada dalam percakapan kami sehari hari baik dalam bahasa tutur maupun bahasa email.
Beberapa relasi kerja juga menggunakan Bro dalam pergaulan sehari-hari.
Karena waktu itu aku sedang bertugas di pulau BORNEO, dan tidak jauh juga dari "BRE NEO"(sedikit ber-plesetan ria...ingat: "bre" adalah paraban waktu SMA, dan "neo" sama artinya dengan new alias baru), dan didikung dengan sapaan "bro" yang sedang ngetrend, maka kupakailah nama "BRO NEO" dalam bahasa tulis sampai saat ini.. (dan juga mampir "Bro Neo" itu dalam judul blog ini)
Jadi paraban Bro Neo, nyrempet nyrempet dengan:
Borneo, pulau nan kaya tempat aku pernah tinggal.
Sapaan "brooowww..." dari teman-teman, dan sekaligus dapat di-link-kan atau di-pleset-kan sebagai "paraban yang baru"
(Harap maklum kalo ada unsur plesetan di sini, karena memang aku tumbuh bersama dengan budaya plesetan di Jogja)

Ke depan kira-kira masih akan ada paraban yang lain gak ya?

Tator - Palopo - Pare
May 09