June 25, 2009

PINDAH RUMAH

Beberapa kali the afdhal mengingatkanku untuk segera meng-update blog. Udah basi katanya, sekarang udah tangal berapa neh??? Menang, sudah hampir 2 minggu tidak ada postingan baru.

Well, memang beberapa hari terakhir ini cukup sibuk. Ada beberapa pekerjaan kantor yang harus diselesaikan, juga beberapa presentasi yang harus disiapkan. Ada juga beberapa meeting yang harus diikuti. Hemmm emang cukup menyita waktu, sehingga tidak ada postingan baru.

Namun itu hanya factor kedua saja sebenarnya, factor utamanya karena memang aku sedang mempersiapkan rumah baru. Pindah rumah neh critanya.

Memang beberapa kali aku pindah rumah atau tempat tinggal.
Kalo tidak salah sudah enam kali aku pindah rumah atau kost. Lumayan capek angkut-angkutnya.

Tapi pindah rumah yang kali ini sedikit lain. Bukan karena pindah lokasi sehingga harus pindah rumah. Rumah yang sekarang ini, di sini, sebenarnya OK juga. Kalo boleh aku bilang sih cukup berwarna, dan bisa dengan mudah untuk diberi ornamen-ornamen. Satu hal yang tidak akan terlupa, bahwa disini aku berjumpa dengan sahabat-sahabat baru. (bolehkan aku sebut sahabat-sahabat .... boleh kan, boleh kan, ya.. ya... ya...)
Sahabat yang banyak membagikan ”ilmu” bagi aku sipendatang baru di dunia ini.

Aku ingin pindah, karena ditempat baru ini, rasanya lebih ”luas” ruang-ruangnya. Aku merasa lebih nyaman dengan fasilitas-fasilitas yang ada. Memang ornamennya tidak sebanyak dan segampang rumah lama, tapi OK kok. Tidak masalah juga jika tidak bisa terlalu banyak memberi ornamen.

Karena mempersiapkan rumah baru itulah, alasan utama sehingga agak lama tidak ada postingan. Aku harus mempersiapkannya dulu, mengangkut perabotan dari rumah lama ke rumah baru. Menata agar rumah baru ini bisa lebih nyaman dan lega. Memang rumah ini masih jauh dari sempurna. Aku masih harus banyak berbenah agar rumah ini cukup rapi, tetap terawat dengan baik, dan menjadi tempat yang nyaman bagi siapa pun untuk berkunjung.

Oleh karena itu dengan segenap kerendahan hati, saya mengajak Anda semua untuk sudi mengunjungi rumah baru saya. Semoga berkenan, dan semoga cukup krasan, sehingga akan cukup sering berkunjung ke rumah baru saya.

Alamatnya tidak jauh kok, cukup klik disini.

Silakan berkunjung, saya menanti...

Pare, Jun 09

June 12, 2009

12 Juni 2001

Gak enak banget rasanya jadi sarjana nganggur. Aku pernah mengalami. Tidak benar-benar nganggur sih, ada project dikit dikit, tapi tetap saja kurang puas. Aku merasa tidak fully optimized.
Makanya setelah beberapa kali bolak-balik Jogja – Jakarta, untuk tes dan interview di pelbagai perusahaan, akhirnya aku dipanggil masuk ke salah satu perusahaan yang cukup terpandang. Wuih bangganya. Serasa dunia dalam genggaman. ”Oeyyy Jakarta, lihat aku datang. Akan ku taklukkan kau!!”

Aku berangkat merantau ke Jakarta naik kereta malam. Diantar Ibu, sepupu, dan tentu saja pacarku waktu itu. Sayang sekali Bapak tidak bisa mengantar. Padahal pada saat tes, beberapa kali aku sempat dibonceng oleh beliau ke statiun tugu.
Waktu pamit, Bapak menjabat tanganku. Erat. Erat sekali. Ada senyum bangga terlihat. Senyum yang sampai saat ini masih terus menyemangati. Senyum yang pada awal kedatanganku ke ibukota mampu membuat aku bertahan dan tetap berusaha menaklukkan Jakarta. Bapak waktu itu sudah sakit-sakitan. Beberapa kali sudah keluar masuk rumah sakit.
Malam itu 15 Maret 2001.

Aku segera bergelut dengan pekerjaanku. Untung sekali perusahaan ini dan orang-orang di dalamnya sangat welcome. Salah satu pekerjaanku waktu itu adalah supervisi survey lapangan, dan aku diberi kebebasan untuk mengatur jadwalku sendiri. Aku sengaja membuat jadwalku travelling ke kota-kota sekitar Jogja terlebih dahulu, agar bisa menyempatkan diri pulang ke rumah.

Sabtu, 9 Jun 2001
Aku singgah ke Jogja setelah dua hari bertugas di Madiun. Kondisi Bapak semakin parah. Nafasnya terasa berat. Badannya mengurus. Kulit yang biasa kencang mengikat tubuh gemuk Bapak, kini tampak mengendur. Dan keriputnya semakin dalam.
Walau dengan nafas tersengal, Beliau tetap saja meneguhkan aku.
Ra pa pa, Bapak ora apa apa. Bapak apik apik wae. Mung butuh leren
Dengan senyum yang aku paksakan, dan nafas kutarik dalam dalam, aku mengangguk pelan. Kelu. Tak bisa berkata apa apa.

Siang itu aku jagongan dengan pacarku di ruang tamu. Sementara Bapak tertidur di depan TV. Nafasnya semakin berat.
“Aghhh... Aghhh..” Kadang nafas Bapak seperti terhenti beberapa detik. Selang dari tabung oksigen menambah kalut pemandangan.
“Hah.....” Bapak terdengar seperti mengeluh.
Keluh yang selama ini tidak pernah aku dengar. Bapak yang aku kenal selalu nrimo, dan tidak pernah mengeluh.
”To....” Panggilnya.
Nggih Pak
Tulung mbok aku dikeroki
Dengan sedih aku keroki Bapak. Bapak selama ini tidak pernah mau menyusahkan orang lain. Minta tolong aku, anaknya pun hampir tidak pernah. Hanya ibulah yang menjadi tempat untuk direpoti. Tidak yang lain
Bapak ”mulai melepas dirinya” pikirku saat itu.

Minggu, 10 Jun 2001
Dalam doaku, aku bermohon
”Tuhan, terjadilah kehendakmu. Bukan inginku tapi kehendakMu. Hidup mati kami ada ditanganMu, sehat sakit kami ada di jariMu.
Tuhan kuserahkan semua ke dalam tanganMu”
Malam itu dalam gerbong kereta menuju Jakarta, aku benar-benar merasa berat meninggalkan Jogja. Meninggalkan Ibu seorang diri merawat Bapak yang sedang sakit keras.
Semula aku akan minta ijin tidak masuk karena kondisi ini. Tapi Ibu melarangku.
”Kamu ke Jakarta saja tidak apa-apa. Jangan sedih. Itu bagus buat psikis Bapak”
OK.
Ibu yang paling tahu Bapak. Betapa psikis Bapak akan semakin terkoyak jika melihat aku tidak ke Jakarta hanya untuk menunggui Beliau. Yah... ”Diri” Bapak akan semakin menderita jika aku sedih melihat dia. Aku harus tegar. Aku harus ke Jakarta.

Senin, 11 Jun 2001.
Hari Senin, seperti biasanya kerjaan kantor cukup banyak. Ditambah tidur yang sangat kurang di kereta semalam, membuat badanku terasa sangat lelah. Apalagi ada rasa gundah di hati.
Jam 21.30 aku sudah terkapar.
”Tuhan kuserahkan hidup kami...” ujarku lirih sebelum terlelap.
Jam 23.30an HP-ku berbunyi.
Kudengar suara Ibu dalam isak yang tertahan,
”Bapak kritis, tolong bantu Bapak dan Ibu dengan doa. Temani Ibu berjaga”
”Semua akan baik baik saja. Tolong bantu dengan doa saja”
”Jangan-jangan! Kamu jangan pulang. Cukup dengan doa”. Tetap saja Ibu melarang aku menengok Bapak yang sedang kritis.
Aku coba menyalakan lilin, dan berdoa.
Tapi dasar badan lelah banget, aku tidak sanggup berdoa lama lama. Apalagi berjaga. Doa singkat yang aku ucapkan berulang tiba tiba hilang. Entah kapan aku terlelap. Yang jelas ketika aku buka mata, hari telah pagi.

Selasa, 12 Jun 2001
Jam 10.00an aku di-call pacarku. Deg!!! Pasti ada kabar penting. Tidak biasanya dia menelpon jam segini.
”Mas, pulang, Bapak kritis” katanya singkat.
”Mas... Mas, dililake ya...” ujarnya lirih.
”Bapak tilar?” tanyaku pelan.
Dililake ya.....”
Telepon aku tutup.
Aku tertunduk di meja. Jemariku saling bertautan menyangga kepadalu. Air mata menggenang. Aku tarik nafas dalam dalam.
”Ibu Mel, saya ijin pulang. Bapak seda” ujarku ke atasanku.
Tak lama kemudian kakaku menelpon.
”Wis dikabari?”
”Wis”

”Sing tabah ya... kita ketemu di bandara”
”OK, ketemu di bandara”
Singkat saja telepon kakakku. Ada hati yang menjerit terdengar dalam suaranya. Suara kami tepatnya.

Aku dan kakak hanya bisa berpelukan di bandara. Diam. Tetap diam. Tak berkata apa apa. Hanya saling berpelukan, dan menepuk punggung. Air mata berlinang. Sedikit sesenggukan. Pelukan paling erat dari kakakku yang pernah aku rasakan.
Setiba di Adisucipto, kami segera menuju RS Panti Rapih. Beberapa kerabat sudah berkumpul. Ibu berdiri. Melangkah sedikit ke depan. Hanya dua langkah barangkali. Memeluk aku. Memeluk kakaku. Tiada kata yang terucap. Semua kelu, tak berkata apa apa. Ibu menggandeng kami, menuntun kami menuju ke peti jenasah Bapak.

Dalam isak yang sempat mencuat dari ketegaran hatinya, Ibu berujar.
“Deloken kuwi. Bapak mesem”
-Lihat itu. Bapak tersenyum-
Sebuah senyum terlihat tersungging di bibir Bapak.
“Apik, kabeh wis apik!”
“Sedane Bapak apik banget”


Setelah kami duduk, baru Ibu bercerita betapa indahnya kematian Bapak. Betapa tenangnya Bapak pergi.
Sungguh dua kalimat penghiburan luar biasa yang aku rasakan saat itu. Kalimat pendek saja, tapi sungguh menenangkan.
“Apik, kabeh wis apik”
“Deloken kuwi. Bapak mesem”


Terima kasih Bapak, sudah menunggui dan mengantarku aku sampai dapat pekerjaan yang aku harapkan.
Nyuwun pangapunten dereng saged bales punapa punapa


ini adalah satu satunya foto yang pernah masuk ke dompetku,

dan slalu aku bawa kemanapun sampai saat ini



Makassar, 11 Jun 2009

Dalam kenangan akan
Ignatius Wibawadjati, terlahir Oey Hong Tay
25 Des 1938 – 12 Jun 2001

June 9, 2009

Sosis

Tadi pagi, entah kenapa, aku tiba tiba melo banget. Tiba tiba saja, kenangan akan Bapak semakin kuat. Ini pasti gara gara FB-nya Djeung Lala. Tapi emang sih.. setiap Juni, kenangan itu pasti datang.

It’s OK.

Ini adalah pengalaman manis tentang koki handal yang sempat aku sempat aku singgung sedikit pada bagian akhir tulisan ini. Koki itu adalah bapakku sendiri. Dan resep istemewanya adalah SOSIS. Heemmmm nyam.

Keluarga kami bukanlah keluarga yang berkelimpahan. Cukup saja. Kalo orang bilang kelas menengahlah. Jadi jangan heran kalo sosis merupakan makanan yang cukup jarang kami nikmati.
Pernah suatu kali, Pakdhe dan Budhe datang dari Solo, untuk mengajak kami jalan jalan ke Borobudur. Sebelum ke Borobudur, kami sempat mampir ke Depot SS, di perempatan Jl. Magelang. (sayang depot itu sekarang sudah tidak ada lagi)
Dan menu yang kami santap adalah... sosis. Benar-benar terasa waktu lezat itu. Kalo om Bondan bilang "mak nyussss... "
Aku sangat menikmatinya dan lahap tentu saja. (mungkin waktu itu Bapak melihat dengan miris, wah anakku kok benar-benar kalap gini)

Waktu berlalu, sampai tiba-tiba ibu mengajakku ke pasar, tempat Bapak menggelar barang-barang second hand-nya. Memang kadang aku mampir ke pasar, tapi kok ini tumben tumbennya Ibu mengajak khusus ke sana. Kami naik becak ke pasar. Sesampai di pasar, ternyata Bapak sudah membeli beberapa gulung usus kering, bahan pembuat kulit sosis. Wow... besar banget & panjang. Persis seperti yang di depot SS. Selain itu ada juga sebongkah daging cincang. Hemmmm bakal makan enak neh :-)
Trus Bapak memberikan ibu catatan kecil. Resep rahasia rupanya. Setelah itu aku dan ibu pergi ke toko yang telah ditunjukkan oleh Bapak. Lumayan juga jalan kaki ke toko itu. Pasar Beringharjo – Pajeksan. Aku tidak tahu namanya, tapi bentuknya bubuk berwarna coklat.

Setelah sampai dirumah, segera ibu mempersiapkan bumbu bumbu sesuai dengan catatan Bapak. Lama sekali rasanya menunggu Bapak pulang. Akhirnya suara khas itu datang. Suara yang seperti menyapa "Bapak pulang..." Suara yang tercipta dari bercumbunya stang sepeda onthel dan tempat minum alumunium (itu tuh... tempat minum yang biasa dipakai tentara). Aku bergegas membuka pintu.
Setelah istirahat sejenak, masuklah sang koki ke gelanggang pemasakan. Ibu bertindak sebagai assisten koki. Kurang topinya aja neh... :-p
Bumbu bumbu diulek dan disatukan. Daging cincang, dicincang lagi. Setelah itu daging cincang itu diuleni dengan bumbu. Ditambah kecap sedikit, dan diuleni lagi. Hemmmm berbayang nikmatnya sosis di depot SS.
Setelah semua siap, mulailah daging cincang berbumbu rahasia ayah mulai dimasukkan ke usus. Usus yang sebelumya berisi angin, pelan pelan berisi daging. Tak lupa aku ngrusuhi Bapak dan Ibu. Ingat, ngrusuhi ya, bukan membantu. Kakak juga nimbrung di dapur. Seru!! Aseek juga masak rame rame di dapur.
”Eeeitt.. ett.. eettt!!” seru Bapak ketika ususnya terkoyak dan isinya terburai keluar. Sementara kami hanya bisa memandang dengan geli.

Akhirnya malam itu kami makan besar. Sosis special racikan Bapak. Tentang rasa, jangan ditanya. Depot SS juga lewat. Jauuuhhh...
Dan menurutku, sosis itu terasa lebih mak nyus karena prosesnya. Karena reriungan dan canda di dapur. Karena empet empetan kami berempat di dapur yang kecil, apalagi sambil ngrubungi senampan kecil daging cicang berbumbu itu. Terasa nikmat sekali.

Paginya kami makan sosis lagi, siang sosis lagi, sore masih sosis lagi. Keesokan harinya lagi, masih makan sosis. My lovely father, he was a great chef.

Pare Pare, Juni 09

June 8, 2009

Di Lima Kilometer Terakhir

Pada waktu naik kelas tiga SMA, aku sedang giat-giatnya terlibat dalam kegiatan OSIS. Ada 3 kepanitiaan sekaligus yang aku ikuti. Kemaruk gak sih?
Ketiganya adalah: penerimaan siswa baru, pelepasan kakak angkatan yang baru lulus, dan satu lagi perkemahan.
Penerimaan siswa baru tentu tidak lepas dari Penataran P4 dan orientasi sekolah. Suer bukan perploncoan lho!!.
Pelepasan kakak kelas, sudah bisa dibayangkan tentu akan ada malam hiburan dan ha ha hi hi.
Nah, perkemahan ini yang berbeda. Nama perkemahan tersebut adalah: Perkemahan Teladan Bakti Wira Dharma Pertiwi. Panjang banget yach. Sering kami singkat sebagai PTBWDP, atau PTB saja.
Apa tuh? Kalo mudahnya, anggap saja seperti KKN, tapi seluruh pesertanya terkumpul di satu desa saja, dan tidak menumpang di warga, tapi berkemah di lapangan sekitar desa lokasi PTBWDP. Detailnya bisa dilihat di sini.

Waktu itu aku mendapat tugas sebagai coordinator survey dan perijinan. Setelah beberapa minggu keliling mencari cari lokasi (aseeek bisa jalan jalan di jam pelajaran..he.he..) akhirnya kami sepakat untuk melaksanakan PTBWDP di Dusun Pasir Mendit, Desa Jangkaran, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, DIY. Desa Jangkaran merupakan desa di sudut barat-selatan DIY, satu-satunya desa di DIY yang terletak di barat sungai Bogowonto. Sungai tersebut memisahkan Kabupatan Kulon Progo dengan Kabupaten Purworejo. Waktu itu, tahun 1993, Dusun Pasir Mendit masih termasuk dusun IDT.



Desa jangkaran, adalah satu satunya desa di barat sungai Bogowonto, untuk bisa mencapainya harus melalui wilayah Jateng terlebih dahuhu


Tanah lapang, diantara muara sungai dan pepohonan itulah lokasi perkemahan kami. Titik yang terlihat terang di samping tanah lapang tersebut adalah SDN Pasir Mendit.

Pada hari kebarangkatan yang telah ditentukan, pagi pagi aku telah pamit ke kedua orang tua, siang itu aku akan berangkat ke Pasir Mendit. Karena kedua orang tuaku bekerja, maka pagi itulah kesempatanku pamit.
Sekitar pukul 14.00 rombongan besar berangkat ke lokasi. Namun karena masih ada urusan di kepanitiaan yang lain, aku masih tinggal di Jogja. Nanti akan menyusul. Sebenarnya tugasku sudah selesai. Survey sudah kelar pastinya. Ijin kegiatan udah ditangan. So... tinggal grubyak grubyuk saja sebenarnya. Makanya aku ijin untuk nyusul jam 5.00-an.

Jam 16.30 aku pulang ke rumah dulu, mandi-mandi dulu,
”Lho kok belum berangkat?” tanya bapakku.
Kujelaskan ke Bapak, kalau memang aku akan menyusul. Selepas azan Maghrib, aku berangkat kesana. Sendirian. Dengan mengendarai sepeda motor, aku tancap gas ke lokasi. Karena sudah sering ke sana, aku cukup hafal medan. Dimana ada tikungan atau lobang besar, aku sudah terbiasa mengantisipasi.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam, sampailah aku di lokasi. Dingin juga angin malam menusuk tubuhku. Segera aku bergabung dengan tenda kelompok untuk makan malam dan breaking ice kelompok. Oh ya, dalam perkemahan ini kami dibagi dalam beberapa kelompok, berdasarkan extrakurikuler kami masing masing. So ada kelompok PMR, kelompok Pramuka dan sebagainya. Kegiatan sosial kami tidak jauh dari ekstrakurikuler, misalnya PMR ya akan bakti sosial seputar masalah kesehatan, kelompok ilmiah akan mengajar murid SD, dan sebagainya.
Belum sampai 15 menit aku duduk di situ, tiba tiba datang Pak Wasis datang dengan wajah pucat dan tegang. Matanya berkaca kaca. Bibirnya begetar.
”Pak Singgih dan Pak Ziazili tabrakan!” katanya lirih.
”Saya coba kejar truck-nya tapi tidak dapat”

What..!!!!
Tabrakan!!! Dengan truck!!!

”Dimana Pak?” sahutku.
”Masih jalan raya, tidak jauh dari jalan masuk ke sini”

”Rom kita kesana!!” seruku.
Aku segera masuk ke mobil Rommy. Tancap gas!!
”Cepat Rom!!” teriakku.
Dalam perjalanan itu aku sangat tegang. Membayangkan hal terburuk yang terjadi. Sepeda motor vs Truck. Oh... no....
Tak lama berselang, aku melihat orang krubung-krubung di tepi jalan.
”Astaga!!” aku kenal sosok itu. Pak Ziazili. Terbayang jelas senyum khas beliau. Memang aku tidak pernah diajar beliau langsung, tapi aku tahu betul, sosok yang tertelungkup di pematang ladang tebu itu beliau. Meski separuh tubuhnya telah ditutup daun pisang, tapi aku yakin betul. Oh.. my God!!
”Benar ini guru Anda?” tanya seorang polisi seraya membalikkan sosok itu.
Aku coba melihat dengan seksama, meskipun ada kengerian dalam hati. Ingin wajah ini berpaling. Oh my God. Aku lihat sekali lagi. Dibalik darah yang mulai mengental, dan debu yang melekat, serta beberapa semut yang merayap, aku kenal betul wajah itu. Benar Pak Ziazili.
”Benar Pak” jawabku tertahan. Seakan suaraku berhenti di kerongkongan saja.
”Pak Singgih dimana Pak?” tanyaku ke Pak Polisi.
”Coba ke Puskesmas Mas!”
Beberapa temanku datang menyusul.
”Kalian di sini, aku ke Pak Singgih!” seruku sambil berlari ke mobil Rommy lagi.
Biarlah Pak Ziazili di sini. Toh sudah meninggal pikirku. Biarlah beliau beristirahat dalam damai.
”Yang masih hidup ini yang harus segera ditolong” bisikku dalam hati. Aku dan Rommy bergegas ke Puskesmas Temon II dalam diam. Lidah kami terasa kelu.
Benar, di Puskesmas Temon II, Pak Singgih mendapat pertolongan pertama. Teriakan dan rintih kesakitan beliau benar benar membuat bulu kudukku berdiri.
Pak Singgih harus segara dibawa ke rumah sakit.
Aku segera masuk ke ambulance yang membawa beliau. Aku di samping sopir, dan Yudhistira temanku, dibelakang, menjaga Pak Singgih. RS PKU Jogja tujuan kami.

Sirine ambulance meraung raung, memecah padatnya lalu lintas malam itu. Aku tercenung. Diam. Tak bisa berbuat apa-apa, selain duduk dan memandang kosong. Kilatan cahaya sirine yang berputar putar membawaku semakin masuk dalam pusaran kekosongan. Sementara teriakan dan jerit Pak Singgih menyusup ruang hampaku. Teriakan menyayat yang diiringi doa doa yang tergetar dari mulut Yudhistira yang di belakang.
Oh Pak Singgih. Beliau meradang ketika berada di ambang kesadaran dan pingsan, ambang kesakitan yang tertahan.
Sesampai di RS PKU, Pak Singgih segera mendapat pertolongan. Tak lama kemudian, beberapa teman datang. Kabar yang mereka bawa, Pak Ziazili sudah ruang mayat RSU Wates. Waktu itu belum ada HP, jadi semua serba lisan.
Setelah beberapa teman berkumpul, kami membagi tugas. Kami harus segera memberitahu para guru dan alumni. Aku bersama Gatut temanku, bertugas untuk memberi info ke Pak Harno. Wakasek bidang kurikulum. Kami tidak tahu alamat dengan pasti, hanya nama kampung saja. Tanpa nomor rumah, tanpa RT/RW yang jelas. Untunglah kami bertemu dengan Pak Sidi, guru matematika yang tinggal di kampung yang sama. Beliau sedang nongkrong di gardu ronda. Bersama dengan beliau kami menuju rumah Pak Harno.
”Pak, Pak Ziazili dan Pak Singgih kecelakaan” hanya pesan itu yang terucap. Tidak kuasa kami berujar ”Pak Ziazili meninggal”
”Pak Singgih sekarang di RS PKU” informasi tambahannya, tapi tetap saja info tentang Pak Ziazili tidak keluar.
”OK, saya ganti baju dulu” kata Pak Harno.
Ketika Pak Harno sudah menyingkap tirai pembatas ruang tamu, entah kekuatan apa yang mendorong kami.
”Pak, anu Pak!!! Pak Ziazili tilar”
”Innalilahi....” ujar Pak Harno
”Apa..??” Pak Singgih terperanjat.

Malam itu berlalu sangat lambat. Aku paksakan mata terpejam, tapi tidak bisa juga. Lelah tubuh ini, tapi lebih lelah lagi hatiku. Ada kengerian menyeruak. Ada gentar yang tergelar. Oh Tuhan, terimakasih atas perlindungan-Mu. Tadi aku ngebut sendirian ke Pasir Mendit. Andai saja aku yang kecelakaan... tidak kuasa aku meneruskan andai andai ku.

Jam 03.30 aku ketok pintu rumah.
”Lho ada apa lagi? Kok belum berangkat?” tanya Bapak dengan kaget.
”Sudah, sekarang kamu tidur!!” kata Bapak setelah mendengar cerita singkat tentang apa yang terjadi.
Tetap saja dini hari itu mataku tidak bisa terpejam dengan tenang.
Pukul 06.30 aku ke rumah Pak Bambang, ketua BP3, memberitahukan apa yang telah terjadi. Kemudian dengan sangat pelan aku berangkat lagi ke Pasir Mendit. Untuk mengikuti upacara pembukaan perkemahan sekaligus penutupan. Pukul 12 siang rombongan kembali ke Jogja.
Ketika melintas kejadian, tak terasa air mataku tergenang.

Lima kilo jalanan terakhir
Menjelma menjadi jalan tak bertepi
Hanya lima kilo lagi
Namun tiada pernah kau kesini

Pak Ziazili,
Kini perjuanganmu telah berakhir
Di sini, di lima kilo terkahir
Jogja – Pasir Mendit
Mengantar kau ke langit


Diiring harum bunga tebu
Kami hantar kepergianmu
Berbahagialah kau selalu
Bersama Dia, pemilik hidup

Pare, Juni 09

June 5, 2009

Step by STEPS

Tak terasa telah hampir empat jam orang terakhir meninggalkan kantor. Kini tinggallah aku sendiri di dalam gedung dan beberapa security di gerbang depan. Jam hampir menunjukkan jam 23.40, dan aku masih bergelut dengan presentasi business plan. Tak terasa telah berhari-hari aku mengerjakan presentasi ini. Siang hari brainstorming, malam hari menuangkan hasil brainstorming ke dalam presentasi, dini hari mengumpulkan topic untuk brainstorming selanjutnya. Maklum saja, salah satu tugasku adalah menjadi compiler
“Cukuplah hari ini, besok lagi”

Dengan tenaga yang masih ada, kukemasi laptop dan kurapikan catatan-catatan yang terserak di meja. Dengan gontai kutinggalkan kantor. Untuk menemani perjalanan kunyalakan tape di dalam mobil.
“… step by step….!!” Terlantun lagu dari New Kids on The Block (NKOTB) yang sempat hits belasan tahun lalu. Lagu tersebut membawa sebuah memory melintas dalam benak. Namun jangan dibayangkan yang terlintas adalah gerak lincah anggota NKOTB, atau wajah ganteng Knight bersaudara. Yang terlintas adalah bayangan om NH dan Pak TOM. Memory akan wajah mereka berdua diikuti oleh wajah teman-teman sekelompok, dan tentu saja serangkaian diskusi panjang nan melelahkan. Lho kok bisa?

Om NH dan Pak TOM adalah dua trainer yang memfasilitasi saya ketika mengikuti Training STEPS. Superior Team-based Execution of PS. Training yang memberikan “common language” bagi seluruh afiliasi perusahaan kami di seluruh dunia dalam menanggapi situasi atau masalah yang ada.

Training yang “cukup” berat namun mengasyikan. Bayangkan saja, dalam training tersebut kita diminta untuk berdiskusi dan memecahkan case-study sampai larut malam, bahkan ada yang sampai dinihari. Yang tidak tidur pun ada.
Sebenarnya sih tidak harus sampai pagi, lha wong case studynya sederhana saja, tapi karena masing-masing anggota kelompok mempunyai pandangan yang beragam dengan argumentasinya masing-masing yang logis dan kuat, maka dengan “sangat terpaksa”diskusi dilaksanakan hingga larut malam bahkan dinihari.
Selain diskusi yang panjang, situasi diperunyam dengan kemampuan bahasa Inggris kami yang cekak. Lha wong semua case-study yang berlembar-lembar itu tertulis manis dalam bahasa Inggris je...
Kalo orang Jawa bilang, “training nganti step” deh. Training sampai step, yang artinya kurang lebih training sampai kejang-kejang karena gejala epilesi.

Pada malam terakhir training, waktu telah menunjukkan pukul 01.15. Diskusi masih saja panas, bahkan hampir mendidih. Maklum ditengah kelelahan fisik dan otak, emosi mulai ikut merangkak naik juga. Tiba-tiba telepon di war room kami berdering. Terdengar suara dari seberang sana
“Bisa bicara dengan Bapak Broneo
“Ya saya sendiri… dari mana Pak?”
“Dari Reception Pak. Bapak jadi order massage Pak. Ini sudah siap Pak”
“Yang pesan dari dari kamar berapa Pak?” tanyaku bloon “Ini war room Pak”
“Benar Pak, dari war room. Tadi ordernya disampaikan via house keeping kami Pak”
Sialan ada yang ngerjain nih gerutuku dalam hati.
“Maaf Pak, saya tidak order massage” dengan nada agak tinggi.
Tapi untunglah telepon itu berdering. Bisa rileks sejenak, otak dan emosi mulai mendingin lagi.

Keesokan harinya ketika breakfast, aku berpapasan dengan Bang MON. Salah seorang trainee juga dari kelompok lain. Sambil tersenyum dia berbisik ke aku,”Gimana pijatnya semalam?”
Sialan!! Kamu Bang yang telpon semalem!!!”
Ho oh… “ jawab dia sambil ngakak.
Dasar Bang MON!! Emang Bang MON ini salah satu rekan kami yang paling jahil. Mo tahu crita lain tentang dia? Bisa baca Gotcha, hasil coretan om NH.

Sungguh beruntung aku boleh mengikuti training ini, meskipun aku belum manager. Yup, training ini memang design awalnya hanya untuk para manager saja.
Karena melalui training yang sempat aku kutuki waktu itu, ternyata memberikan banyak manfaat saat ini. Kerangka business plan yang saat ini sedang aku kerjakan, tidak lepas dari STEPS.
Bahkan di luar pekerjaan di kantor pun, STEPS dapat memberikan kerangka dan pola yang jelas dan terstruktur dengan baik. Dapat memberikan langkah demi langkah dengan lebih terarah.

“… step by step…”
“ … step by STEPS…”

koleksi lawas dengan beberapa perbaikan, teriring salam untuk om NH18
Bpn Dec 08
Pre Jun 09

June 4, 2009

Maafkan Ibu Anakku

Senja ini aku kembali bertemu dengan mu
Gadis Ceria anakku
Ingin aku mendekap mu, memeluk mu, mencium mu
Tapi tak kulakukan itu
Biarlah aku tetap menjadi tante berkerudung ungu bagimu
Dan jangan lagi kau pinta aku membuka kacamata hitamku
Biarlah itu menjadi penutup mata kelam bergenang air mata

Air mata yang bisa mengalir dan menghayutkanmu
Ke kelam masa lalu mu
Cukuplah aku yang tenggelam, bukan kamu
Biarlah kamu hidup bersama orang tuamu
Itu yang terbaik bagi mu

Maafkan Ibu anakku
Maafkan aku yang hanya menyusuimu tiga hari
Maafkan aku yang tidak sanggup menjadi bapak dan ibu
Maafkan aku yang hanya bisa menyelimuti
Memeluk mu
Mencium mu
Lalu meninggalkanmu

Gadis Ceria anakku
Rasakanlah kesegaran setiap titik embun pagi
Ada hening dan hangat pelukku
Dan dalam setiap semilir angin senja
Ada senandung dan belai tanganku
Atau lihatlah cerianya cahaya rembulan
Ada senyum dan sapaku
Percayalah dalam setiap nafasku
Ada doa bagimu anakku

Satu pinta Gadis Ceria anakku
Jangan pernah kau hina para pelacur
Karena merekalah yang menjadi bentengmu
Benteng kesucian bagi Gadis Ceria
Mereka rela diterkam serigala berliur nafsu
Mereka telah mati jiwa, dan menjadi seonggok daging
Daging yang bisa dibeli dan dinikmati
Lalu dibuang
Jangan pernah kau tanyakan keagungan cinta mereka
Mereka telah mati bagi orang yang dicintai
Bagi teman temanmu yang lahir dan besar di sini
Di lokalisasi
Sekali lagi pintaku padamu
Jangan pernah kau hina para pelacur
Demi aku, ibumu

Gadis Ceria,
Jangan kamu bermegah menjadi anak cucu Maria
Hanya karena kamu tumbuh di dalam harmoni
Aku takut kamu menjadi Maria Magdalena
Jika kamu tumbuh di sini, di lokalisasi
Jangan pernah kau salahkan juga ibuku
Karena mendekapku di sini
Dan jangan kau tanyakan duka dan tangisku
Ketika memutus rantai ini

GA 603, Jkt - Upg
Jun 09

June 3, 2009

Bebaskan Ibu Prita

Saatnya hati yang berbicara, bukan materi


meski lirih biarlah saya turut bersenandung
aku percaya meski lirih suara ini
jika digabungkan dengan senandung hati teman-teman semua
akan menjadi gema yang dahsyat!!

May 28, 2009

28 Mei 2006

27 Mei 2006
Ranjang tempat ku terlelap bergoncang keras. Aku terpental dari tempat tidurku. Dengan kesadaran yang baru ngumpul, aku segera keluar kamar, menuju tangga darurat, dan langsung menapakinya. Empat lantai tidak terasa. Sesampai di halaman hotel, orang orang sudah banyak disana. Wajah mereka pucat, bengong, cemas beraduk menjadi satu. Pasti wajahku seperti mereka juga.
Gempa!! Gempa besar terjadi. Gempa terbesar yang pernah aku rasakan sendiri.
Sesaat kemudian beredar kabar, Jogja luluh lantak!! Pusat gempa di selatan Jogja.

Ups..berkaca kaca neh ...

Oh ... My God!!
Aku sekarang di Solo. Kurang lebih 60 km dari Jogja. Disini saja terasa sangat keras mengguncang, bagaimana di sana. Bagaimana Ibu? Bagaimana Mas & Mbak? Bagaimana Pakdhe & Budhe... sahabat-sahabat!! Orang orang yang aku cintai, bagaimana kalian?
Segera aku coba kontak Ibu. Tidak nyambung-nyambung juga. Tulalit, nada sibuk, dan suara mbak Veronica bergantian menyahut call-ku.
SMS not delivered.
Setelah kurang lebih 1 jam masuk SMS dari Mas Edo. ”Kami baik-baik saja, Ibu ada di sini”
Plong... lega luar biasa mendengar mereka selamat semua. Puji Tuhan.
Namun kecemasan tetap saja menghantui. Jogja. Kota kelahiranku. Kota tempat aku tumbuh dan berkembang. Sahabat, guru, saudara, teman kerja banyak yang di sana. Bagaimana mereka?

Sore sekitar jam 15.00 aku bisa menghubungi Mas. ”Semua baik-baik saja. Rumah hanya genteng saja yang melorot dan retak dinding dapur semakin lebar saja. Ibu sehat-sehat. Tidak usah pulang. Malah ngrepoti kamu. Kami baik-baik saja. Dah, kamu tenang saja. Tidak usah panik. Oh ya... HP kami lowbat, kalo tidak bisa kontak tidak usah bingung. Listrik padam. Kami tidak bisa nge-charge
Dalam hati aku ngeyel, kondisi seperti gini tidak boleh pulang. Disuruh tenang lagi. Mana bisa? Memang sifat Bapak yang satu ini mau tidak mau menurun ke kami juga. Tidak mau ngerpoti orang lain.

Hari itu aku dinas di Solo dengan gundah. Teman-teman se-project juga resah.

28 Mei 2006 – tepat 3 tahun lalu.
Aku bersama teman-teman se-project bergerak ke Jogja. RS. Bethesda. Mencoba memberi apa yang kami bisa.
Bus yang kami tumpangi melintasi Klaten. Sepanjang jalan kami hanya bisa mlongo. Hening. Termangu. Menatap kosong pada puing-puing bangunan. Reruntuhan bangunan itu meruntuhkan kesombonganku juga. Hanya debulah aku di alas kaki-Mu.

Sesampainya di RS Bethesda, hatiku makin terkoyak. Lahan parkir dijadikan tempat perawatan sementara. Gang-gang rumah sakit penuh dengan pasien. Rintih kesakitan menjadi senandung yang melantun membawa kepedihan.
Apa yang kami bisa? Kami tidak punya kemampuan apa-apa untuk menolong. Bahan makan dan selimut sudah kami serahkan. So...
Eit... tunggu dulu. Temen temen se-project kuat kuat. Lha wong atlet basket nge-top semua mereka. Dengan tenaga yang ada kami menjadi ”kuli”. Menggotong korban yang datang, maupun memindahkan beberapa korban untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sekedar memegang kantong infus pun tak apa lah.
Juga donor darah. Tuhan ini darah milikMu juga, pakailah untuk menolong mereka.

Berikut sejumlah dokumentasi yang sempat terekam. Nah.. kalo ini dokumentasi bukan aku yang ambil. Tapi rekan kerja yang lain. Aku upload di sini yan Mas DnK







May – 2008, 2 tahun setelah gempa.

Aku mendengar percakapan tetangga salah satu keluarga yang tinggal di Pundong, Bantul. Salah satu tempat paling parah akibat gempa 5.9 richter tahun 2006.

”Untung lho awake dhewe iki. Pancen okeh sing dadi korban. Pancen okeh sing tilar. Omah-omah dha ambruk. Ning sing dipendhet Gusti dudu panguripane dhewe. Ra kaya Lapindo. Sawah sawah dha klelep. Matine rak alon-alon to kuwi”
(Beruntung kita ini. Memang banyak yang jadi korban. Memang banyak yang meninggal. Rumah-rumah roboh. Tapi yang diambil Tuhan bukan penghidupan kita. Tidak seperti Lapindo. Banyak sawah tenggelam. Meninggalnya kan pelan-pelan)

Uh... kepasrahan dan rasa syukur yang luar biasa. Penyerahan diri yang membuat mereka, para korban, mampu bertahan dan mulai bergerak lagi untuk bangkit. Luar Biasa!!!

By the way, jangan lupa dengan Lapindo ya. Kasusnya belum tuntas lho...
Gempa Jogja & Lumpur Lapindo, dua bencana yang hampir bersamaan terjadi.
SBY Berbudi, JK-Wira- Mega-Prabowo... ingat Lapindo lho... mereka tercabut dari penghidupan mereka.


Pare Pare, May 09

May 26, 2009

Pret...Cepret... Potret

Pret... Pret... Cepret..
Bunyi khas kamera membawaku pada kenangan pada tahun 80an, ketika aku masih SD. Pada pertemuan keluarga besar, alias pertemuan Trah Karijapijoga di Muntilan, saat itulah pertama kali aku menekan tombol kamera. Pret... seiring kilatan lampu blitz yang menyala.
Hanya satu cepretan saja, namun cukup menjadi gerbang bagiku untuk masuk hobby yang satu ini. Fotografi.

Dengan sangat antusias, aku mencoba mendeskripsikan apa yang sempat aku jepret dengan kamera kepada Bapak. "Pasti OK Pak, penarinya sedang mengangkat kaki, selendangnya melambai gagah..." Demikianlah kurang lebih penggambaran yang aku berikan ke Bapak sepanjang perjalanan pulang. Bapak menanggapinya dengan serius sambil tersenyum simpul. "Kita lihat hasilnya nanti yach.."

Eng ing eng.. dua atau tiga hari kemudian, Bapak pulang sambil membawa hasil dokumentasi pertemuan trah. Tentu saja setelah filmnya dicuci cetak. Ups... apa yang terjadi....
PANTAT.. man!!!
Yach penari yang dengan gagah telah aku deskripsikan ternyata bagian belakang tubuhnya saja yang tampak... Lambaian selendang hanya tinggal kenangan karena yang terpampang adalah seonggok kain nglemprek.
"Lain kali latihan lagi ya...." hibur Bapak waktu itu.

Beberapa tahun kemudian, ayah sudah berani memberiku "pegangan" kamera untuk menyalurkan hobby. Dan mereknya adalah... Argus!!! What..!!! Kamera apa tuh.. ? Nama yang baru aku kenal pada saat menerima kamera dari Bapak. Bukan kamera baru, tapi kamera bekas. Tapi lumayanlah, sudah memegang kamera sendiri. Hasilnya lumayanlah untuk seorang anak SD.

-sayang saat ini hasil jepretan masa kecilku belum bisa aku share disini... maklum semua dalam bentuk hard copy, dan masih tersimpan di Jogja... belum di-scan -

Fotografi memang merupakan hobby yang cukup mahal (bahkan sampai saat ini masih terasa mahal), apalagi dulu semua harus dicetak jika ingin lihat hasilnya, tapi untung sekali Bapak sangat mensupport hobby itu.
Sebagai penjual barang bekas alias loakan di pasar Beringharjo, Bapak sering mendapat kamera atau lensa bekas yang kondisinya masih cukup OK. Sebagai pedagang mungkin Bapak cukup "aneh". Jika mendapat barang bagus, Bapak tidak menjual lagi supaya mendapat untung besar, tapi justru dibawa pulang. He..he..he.. tentunya aku dan Mas Edo yang senang.

Selain kamera Argus itu, selanjutnya aku diberi pegangan beberapa kamera yang lain, aku tidak hafal dengan pasti.. Maklum lumayan banyak kamera yang sering aku pakai, lha wong pada dasarnya adalah dagangan Bapak di pasar. Yang aku ingat sih, pernah apakai Canon, Olympus, dan yang paling lama aku pegang adalah Nikon FM-2. Kadang juga memakai Nikon F-2 jika sedang tidak dipakai Bapak atau kakak. Dan semuanya tentu saja... bekas.

Karena merupakan hobby yang cukup mahal, saat SMA & kuliah, seringkali aku ikut dalam kegiatan sekolah/kampus, tentus saja dengan spesialisasi Sie Dokumentasi. He..he... menyalurkan hobby mumpung dibayari.
Namun sejak mengerjakan tulisan akhir dan bekerja hobby itu terhenti sama sekali. Maklum mesti hijrah ke Jakarta, dan semua kamera aku tinggal di Jogja. Lama tak pegang kamera. Tidak punya.

Setelah sekian lama menabung, akhirnya pada tahun 2007 awal, aku bisa membeli kamera sendiri. Meskipun kamera ecek-ecek, tapi suerrr.. itu satu satunya kamera yang pernah aku beli. Setidaknya sampai saat ini. Waktu itu sebenarnya ingin beli yang lebih OK, tapi karena keuangan terbatas yach terpaksa harus berkompromi situasi yang ada. Lumix FZ50 cukuplah..

Bicara hasil jepretan... wah masih jauh dari yang diidam-idamkan. Beberapa sudah sempat aku share di sini, just dokumentasi saja kan? Kalo mau mencari nilai seni atau artistik dan sebagainya.... nanti dulu lah. Masih jauh.
Berbeda dengan kakakku, Mas Edo. Lumayan bisa dinikamatilah karyanya. Apalagi didukung dengan hobby-nya ber-back packer ria bersama sang istri, mbak Tita. Klop dah... Kemampuan foto OK, object OK. Hasilnya (menurutku) OK OK banget.

Yach.. jeprat jepret dengan kamera alias fotografi adalah "satu-satu darah" yang mengalir dari Bapak dalam diri kami berdua. Aku dan Kakakku.
Tradisi leluhur Bapak... blank, tidak tahu sama sekali.
Darah dagang... hmmmm nanti dulu.
Darah masak memasak.... eit.. itu sama sekali tidak mengalir dalam darah kami.

Pare Pare
May 09

May 22, 2009

Gotham City

Dimanakah kota kelelawar?

Apa yang terlintas di benak kita jika kita dilontari pertanyaan seperti itu? Mungkin akan terlintas dibenak kita Gotham City, tempat Batman beraksi. Atau somewhere di lembah Arizona, sebagaimana digambarkan dalam film thriller Bats.
Atau mungkin ada juga terlintas kota Soppeng.

Soppeng? Wattansoppeng? Mana itu? Why??

Yup... Soppeng atau lebih tepatnya Wattansoppeng, adalah kota kecil, yang menjadi ibukota kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan.

Sangat tepat jika kota kelelawar adalah Gotham City di dunia nyata. Bukan fiksi.

Kota ini sangat unik, karena tepat ditengah kota, terdapat ribuan atau bahkan puluan ribu kelelawar bergelantungan. Anehnya lagi, kelelawar-kelelawar tersebut hanya bergelantungan di pohon asam sekitar masjid raya saja. Bukan ditempat lain. Dan jangan dibayangkan kelelawarnya kecil-kecil. Sebesar kucing-kucing bo....

Sejak kapan kelelawar-kelelawar tersebut mulai bersarang di pusat kota Soppeng tidak ada yang tahu dengan pasti. Menurut kesaksian orang-orang tua, kelelawar itu sudah ada sejak mereka kecil. Bahkan mereka juga mendengar bahwa orang tua mereka juga sudah hidup bersama dengan kelelawar-kelelawar tersebut. Jadi secara temurun warga Soppeng menjadi saksi adanya fenomena ini. Namun demikian dalam naskah-naskah tua, seperti lontara, tidak disinggung sama sekali tentang keberadaan kelelawar-kelelawar.
(sebagaimana kita ketahui bersama lontara adalah salah satu sumber sejarah yang menjadi rujukan jika ingin mempelajari "seluruh" Sulawesi Selatan pada masa lampau)
Bagi kita, orang luar Soppeng, mungkin aneh dengan keberadaan kelelawar tersebut. Namun bagi warga asli yang sudah sekian puluh tahun hidup bersama, kehadiran kelelawar tersebut menjadi hal yang biasa. Bau menyengat dan pekik kelelawar sudah tidak mengganggu lagi.

Bahkan jika kelelawar-kelelawar tersebut pergi dan tak kembali, warga di Soppeng justru takut. Pertanda buruk. Sesuatu bencana atau musibah akan datang ke kota Soppeng. Yach... mereka percaya bahwa kelelawar itu bukan kelelawar biasa.
Pernah pada tahun 1990an, kelelawar-kelelawar tersebut pergi dan tidak kembali lagi, karena salah satu pohon besar, tempat tinggal kelelawar, ditebang oleh pemda demi pembangunan kantor. Tak lama kemudian, kebakaran besar menghanguskan pasar sentral. Pusat ekonomi dan kehidupan kota Soppeng luluh lantak.
Kelelawar-kelelawar itu kembali ke Soppeng setelah diadakan upacara pemanggilan mereka.

Di kota-kota sekitar Soppeng juga beredar mitos, bahwa jika kita terkena kotoran kelewar itu, kita akan berjodoh dengan warga Soppeng. So kalo ada yang pingin cari jodoh orang Soppeng, berdiri saja dibawah pohon itu, sambil berharap dapat "rejeki" nomplok... yyyeaachh!!!

Sungguh beruntung sore ini aku sempat mampir di Soppeng, sehingga bisa share pemandangan luar biasa. Bersamaan dengan kumandang adzan Maghrib, lepas landas-lah ribuan kelelawar, meninggalkan sarangnya. Suara teriakan kelelawar yang berkeciap, menjadi senggakan bagi merdu kumandang adzan.

Yach.. kumandang adzan selalu mengiringi kepergian maupun kedatangan kelelawar Soppeng.
Maghrib mereka terbang, dan Subuh mereka pulang.
Kemana mereka pergi dan dari mana mereka datang tidak ada yang tahu secara pasti.
Mungkin mereka mengunjungi saudaranya di Gotham City sana...

Namun sayang, camera yang kubawa cukup jadul, dan cuaca agak mendung. Jadi mohon maaf, gambar tidak bisa terlihat dengan jelas.

Satu hal lagi yang mengundang tanya dalam benakku. Di pinggiran kota Soppeng banyak anjing berkeliaran di malam hari. Tampaknya liar tak bertuan.
Di kota yang terkenal Islami ini, mengapa banyak berkeliaran makhluk yang diharamkan yach??
Soppeng,
May 09

May 19, 2009

Time Out

Waktu SMA, aku kadang iri dengan teman-temanku yang bisa bercanda, dan bermanja-manja dengan ibunya. Ih.. kenapa aku tidak bisa.
Ini pasti karena Ibu sibuk dengan pekerjaannya.

Tapi sekarang iri itu menjadi syukur tak terhingga, ketika aku melihat sekelilingku. Betapa banyak bayi yang masih sangat kecil telah ditinggal kerja oleh kedua orang tuanya. Baru 3 bulan sudah ditinggal.
Syukur banget aku masih ditunggui oleh ibu, meskipun hanya sampai kelas 2 SD.

Terkenang indah ketika aku disuapi ibu sambil dibacakan buku.
Atau ketika terayun ayun di boncengan sepeda "jengky" biru yang udah butut ketika diantar jemput Ibu waktu TK dan kelas 1 SD. Oh indahnya...
Indah bagiku.. tapi mungkin ngos-ngosan buat Ibu. Lha wong lumayan jauh je ... 4-5 km di terik matahari.

Terima kasih Ibu, karena telah rela keluar dari pekerjaanmu waktu itu.

Ibu ketika gadis adalah seorang perawat di salah satu RS di Jogja.
KetikaIbu memutuskan untuk menikah dengan Bapak, dengan rela Ibu keluar dari pekerjaannya.
Ibu mengandung kakakku, satu setengah tahun setelah pernikannya.
Setelah kakakku lahir, kemudian menyusulah diriku ini dikandung Ibu tiga tahun kemudian.

Ketika aku kelas 1 SD, Ibu mulai sering bermimpi bertemu dengan teman-teman sekerja dulu. Teman sekerja, sekaligus teman seangkatan, sekaligus teman seasrama. Karena memang Ibu lulusan sekolah perawat yang mengharuskan Beliau untuk tinggal di asrama.
Yach.. yang diceritakan padaku, mimpi itu hadir setelah aku kelas 1 SD.
Tapi bisa jadi sejak Ibu keluar dari pekerjaannya mimpi itu telah hadir.
Dalam mimpinya, Ibu bertemu teman-temannya dan mereka mengajak Ibu untuk gabung kerja lagi.

Maka setelah aku dianggap cukup besar dan bisa ditinggal, kelas 2 SD, Ibu kembali menjadi perawat. Di rumah sakit yang sama.
Teman-temannya telah banyak yang menjadi kepala unit, atau perawat senior. Ibu kembali menjadi perawat dari nol. Dengan tekhnologi kedokteran yang sudah cukup jauh di depan jika dibandingkan ketika Ibu keluar.

Meski menjadi perawat, Ibu tidak meninggalkan kewajibannya sebagai ibu. Semua kebutuhan telah disiapkan oleh Ibu sendiri. Tanpa asisten sama sekali.
Pagi-pagi sekali Ibu menghangatkan makanan yang sudah dimasak pada malam sebelumnya.
Pakaian juga telah disetrika dengan rapi. Rumah telah dibersihkan.
Luar biasa Ibu....

Saat ini Ibu telah pensiun sebagai perawat RS itu, namun masih terus menjadi asisten di praktek dokter setiap Senin, Selasa dan Sabtu.
Dokter tersebut cukup kondang di Jogja dan banyak pasiennya, sehingga kadang di usia senjanya Ibu harus pulang jam 23.00 bahkan lebih. Sampai saat ini peran ibu di tempat dokter itu belum tergantikan. Karena Ibu adalah satu-satunya perawat di situ yang bisa nyontik bayi dengan baik.
Semua dijalani dengan senyum. Senyum yang sama dengan apa yang aku lihat waktu kanak-kanak dulu. Oh, betapa teduhnya senyum itu...
Dan masih.... Ibu tidak mau ditemani asisten untuk mengurus rumah.

Terima kasih Ibu untuk semuannya.
Untuk semua pengorbanan ketika engkau mengambil "time out" dari pekerjaanmu. Time out yang cukup panjang, 12 tahun. Demi bisa menjagai aku dan Mas Edo.

ups... berkaca-kaca neh waktu nulis

Matur nuwun ibu..
Sembah sungkem kula..
Nyuwun pangapunten asring damel ibu repot, sebel lan duka
Nyuwun sewu, dereng saged paring menapa menapa

Palopo,
May 09

May 15, 2009

Biar Saja Dia Tidak Berpuasa....

Ini tulisan yang aku buat satu setengah tahun lalu, dibuang sayang:

Waktu saya membuka-buka catatan harian, saya menemukan tulisan ini. Tulisan ini saya buat kurang-lebih 3 tahun yang lalu, di Jogja

Jl. Magelang, jam 13.32, 3 hari jelang Lebaran

Hari ini kudengar percakapan seorang anak dengan kakeknya.

Kek, lihat orang itu. Masa puasa-puasa gini makan dipinggir jalan.

Biar saja dia tidak berpuasa ... Coba perhatikan orang itu! Kurus sekali, pakaiannya sangat kotor. Coba kamu perhatikan cara dia makan nasi kotak itu. Sangat lahap, bahkan kadang agak kesulitan menelan karena tergesa-gesa. Sepertinya lapar benar dia.

Tapi ini kan bulan puasa?

Biar saja... kita hanya puasa hanya 1 bulan Nak, tapi lihat pemulung itu... bisa jadi dia sepanjang tahun harus menahan lapar dan haus. Memang bukan karena puasa, tapi karena kondisi. Bisa jadi dia hanya makan sehari sekali, sedangkan kita meskipun puasa, tapi masih sempat sahur dan nanti buka puasa. Apa lagi kamu, kalo malam masih ngemil lagi.

(bus yang aku tunggu kubiarkan melintas, karena aku ingin belajar dari kakek itu)

Memang kek, tapi bukannya dia harus cari tempat yang tidak kelihatan orang, supaya tidak menggoda yang sedang puasa?

Biar saja ... Kamu baru lihat segitu aja sudah kepingin. Coba bayangkan kalo bukan bulan puasa. Dia hanya bisa melihat orang lain makan. Dia mesti menahan ”godaan” itu sepanjang tahun Nak...

Tapi kata Pak Ustadz Kek...

Nak, kamu puasa kan? Buang pikiran yang enggak-enggak. Jalani saja puasamu dengan sebaik-baiknya. Biar saja orang lain tidak puasa. Puasamu biar untuk yang di Atas. Jangan mudah menilai orang... Sabar...

Kek, ngomong-omong dari mana orang itu mendapat nasi kotak? Jangan-jangan dari tempat sampah Kek, kan kotor?

Wah kalo itu Kakek tidak tahu.

Barangkali dari sedekah ya Kek, kan kalo dah deket lebaran gini banyak orang yang bagi-bagi nasi kepada para pengemis dan gelandangan.

(Percakapan terhenti, mereka masuk ke dalam bus yang mereka tunggu)

Hari ini aku mendapat pelajaran. Thanks God sudah Kau ingatkan aku.
Makasih Kakek....


(end of diary)

Balikpapan,
Ramadhan 07

May 14, 2009

Balonku (Ada Lima)

Tentu sebagian besar dari kita telah tahu lagu “Balonku”, atau kalo belum tahu coba deh googling “Balonku Ada Lima”.
Akan banyak sekali dijumpai tulisan yang membahas masalah lirik lagu tersebut, terutama mengenai urutan warna sang balon.
Kelompok pertama kenal urutan warnanya sebagai : Hijau – Kuning – Kelabu – Merah Muda – Biru
Namun banyak juga yang kenalnya: Merah – Kuning – Kelabu – Merah Muda – Biru pada kelompok yang lain.

Kelompok pertama bisa menerima dengan lapang dada, sedangkan kelompok kedua (setelah besar) mempertanyakan “logika” lagu tersebut, karena syair berikutnya adalah “… meletus balon hijau…”

Ketika aku coba cari wikipedia, terdapat lagu Balonku dalam list Lagu Anak Indonesia, ciptaan Pak Kasur. Namun jika kita telusuri lebih lanjut tidak ada keterangan lebih detail mengenai Balonku maupun Pak Kasur.
Bahkan jika dilihat dari log yang ada, telah terjadi saling hapus syair lagu tersebut, akibat perbedaan warna tersebut.

Belum ada yang menjelaskan, atau lebih tepatnya, belum ada yang meneliti mengapa perbedaan ini terjadi, dan mengakar kuat dalam masyarakat kita.
Ada yang berteori, bahwa ada suatu masa sekitar tahun 60-an dimana merah dan hijau saling bermusuhan dan berusaha meniadakan satu sama lain. Ini yang mempengaruhi perbedaan itu (entah yang Merah meniadakan yang Hijau, atau sebaliknya yang Hijau meniadakan yang Merah). (kalau sekarang meletus balon apa ya? Hijau, Merah, Biru, atau Putih? He..he..he..)

Ada juga yang menganggap, ini terpengaruh lagu Pelangi, ”...merah kuning hijau... di langit yang biru....”
Diperparah dengan urutan trafict light yang Merah Kuning Hijau... sehingga seolah olah jika menyebutkan urutan warna, ”harus” diawali dengan merah.

Atau ada juga yang bernalar seperti ini:
”Yang meletus milik orang lain, nah karena sifat luhur bangsa kita, si pemilik balon memberikan satu balon miliknya ke orang lain tersebut" (nice try... he..he..)

Terlepas dari mana yang benar, satu pelajaran yang bisa kita ambil:
Apa yang terekam waktu kecil, akan terus dipegang/dipercaya hingga dewasa, walau kadang tidak logis.
So... harap berhati hati yach, rekaman anak-anak terhadap sekeliling sangat tajam dan kuat.

Note:
Berdasarkan observasi sementara (yang masih harus dibuktikan lagi kebenarannya), kelompok kedua banyak berasal dari orang-orang yang masa kecilnya di Jawa Tengah – Jawa Timur (termasuk Jogja)

Surabaya, May 09

May 12, 2009

Senja Dibalik Jendela

Kantorku terletak tidak jauh dari pantai, hanya terpisah satu blok saja. Dan ruang kerjaku, terletak di lantai 3. Cukup tinggi untuk dapat memiliki pandangan yang lumayan luas dan lepas.

Dari balik ruang kerja aku dapat melihat luas laut yang terbentang. Di kejauhan tampak tanjung dengan perkampungan di ujungnya. Ujung Lero. Sebuah menara masjid berdiri menjulang di kejauhan.

Kapal-kapal nelayan bertaburan di kejauhan. Kadang kapal-kapal besar juga melintas. Memang yang terpampang di balik jendela ruang kerjaku adalah pintu gerbang menuju pelabuhan kota ini.

Pemandangan yang bisa aku jadikan tempat pelarian dari seabreg pekerjaan. Pelepas lelah mata setelah berkutat dengan layar laptop. Hiburan murah meriah... he..he..he.

Sore itu aku berdiri memandang lautan. Matahari mulai bergerak ke ufuk barat. Terus bergerak. Tenggelam.

Dari masjid di sebelah kantor berkumandang adzan Maghrib. Terdengar merdu, menghanyutkan diriku.... terdiam ..... merenung... dalam... dalam... semakin dalam...
Sungguh indah...

Allahu Akbar!! Allah Mahabesar!!

Surabaya, May 09

May 8, 2009

Gunung Nona

Jamrud Kathulistiwa.
Tak salah memang julukan itu diberikan kepada negeri ini. Memang indah mempesona alam Indonesia. Juga kaya raya. (tapi siapa yang menikmati ya??)
Setitik keindahan Gunung Nona di Bambapuang yang coba aku share di sini.

Bambapuang adalah desa yang terletak di Kab. Enrekang, Sulawesi Selatan. Jika kita akan ke Tana Toraja dari arah Makassar, tentu akan melewatinya. Cara mengenalinya mudah.
Selepas dari kota Enrekang ke arah Tana Toraja, kita akan melewati sederetan warung-warung di kanan jalan. Coba berhentilah di sana. Sambil menikmati minuman hangat kita bisa menyaksikan indahnya pemandangan Gunung Nona.

Nama asli Gunung Nona sebenarnya adalah Gunung Buttu Kabobong. Kata kabobong dalam bahasa lokal berarti "sesuatu yang selayaknya disembunyikan". Orang dari luar area, daripada susah susah menyebut Buttu Kabobong, lalu menyebutnya sebagai Gunung (maaf) Vagina.
Karena kurang enak di dengar, kemudian disebut sebagai Gunung Nona.

Sungguh beruntung aku punya kesempatan untuk menikmati si indahnya pemandangan Buttu Kabobong beberapa saat yang lalu.
Berikut ini sekelumit keindahan yang terekam:

(Hayo... siapa yang berimajinasi melihat kabobong??)

Imaginasiku melayang, seakan akan ada negeri di awan pada puncak bukit itu. Dan terbayang pada tebing-tebing di kejauhan. Seakan ada aroma mistis dibalik awan tipis yang menyelimuti. Gambaran awamku tentang Tana Toraja semakin memperkuat imaginasi itu.

Imaginasiku buyar ketika seekor burung terbang melintas. Tidak tahu pasti burung apa, mungkin elang. Tapi yang jelas tampak anggun dan gagah sekali dia membentangkan sayapnya diatas lembah-lembah dan tebing-tebing.




(pantas yach, banyak negara yang menggunakan burung perkasa ini menjadi lambang negara).

Tapi sayang sekali, sangat sedikit waktuku untuk menikmati si Nona yang satu ini. Karena aku harus segera ke Rantepao, dan mencoba menikmati sekilas keindahan Tana Toraja, dan malamnya harus sudah sampai di Palopo untuk ketemu seseorang.

Syukurlah bisa menikmati indahnya setitik jamrud disela sela tugas kantor.

-Kisah tentang Toraja dan perjalanan ke Palopo akan menyusul pada tulisan selanjutnya-

Enrekang - Tator

May 09

May 5, 2009

Anak Bajang Menggiring Angin

Anak Bajang Menggiring Angin adalah judul karya sastra karangan Sindhunata SJ. Terbit tahun 80-an, tapi baru aku baca ketika SMA, tahun 1993.
Bagiku buku ini sangat istimewa. Saking istimewanya aku telah membaca buku ini lebih dari 5 kali. Jika ada buku yang aku baca dari awal sampai akhir secara berulang-ulang ya hanya buku ini.
Jauh lebih banyak dari buku-buku diktat kuliah maupun pelajaran sekolah.
Memang ada buku "wajib" ketika kuliah yang aku baca belasan kali, tapi hanya bagian-bagian tertentu saja (karena nggak dong dong, "untuk setiap epsilon positif, terdapat delta positif, sedemikian sehingga...... " .....halah kok malah definisi limit yang tertulis??). Bukan dari awal sampai akhir seperti Anak Bajang Menggiring Angin.

Apa gak bosen tuh baca buku lebih dari 5 kali?
Tidak!! Karena setiap kali membaca, aku selalu dapat menemukan hal-hal baru, pelajaran baru, atau nilai-nilai baru.

Menurut saya ada 2 kekuatan utama buku ini, yaitu bahasa yang indah, puitis, mempesona serta kedalaman isi, pemaknaan, permenungan yang bisa dipetik sebagai pelajaran. Tidak heran jika aku setiap kali membaca buku ini pasti menemukan sesuatu yang baru.

Coba nikmati petikan ini:
...Cahaya itu adalah Sastra Jendra dalam hatimu sendiri. Maka, jangan camkan aku. Camkan hatimu sendiri. Tak ada manusia atau pribadi. Yang ada hanyalah manusia dan pribadi dalam hatimu. Kebijaksanaan manusia tersembunyi dalam hatimu sendiri seperti malam yang bersayapkan terang, seperti kehidupan bersayapkan kematian. Kebijaksanaan hati itulah Sukesi, yang seharusnya bicara dan kaupatuhi...
(-wedaran sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu oleh wisrawa kepada sukesi-)

indah dan dalem banget!!

Untuk bisa menikmati indahnya kalimat kalimat yang terangkai dalam buku ini, kadang kita "harus melepaskan" makna harafiah yang tertulis. Aku tidak perlu tahu apa itu pohon angsana, asoka, burung tadah asih, atau banaspati dan warudoyong. Aku juga tidak terlalu pusing dengan frasa anak bajang menggiring angin. Karena setelah membaca keseluruhan buku itu, menjadi tidak berarti lagi apa itu anak bajang menggiring angin secara harafiah.

Beberapa sahabat yang pernah aku beri kado buku ini, ketika melihat judulnya bertanya," Apa sih anak bajang?"
"Kalo anak bajang sih aku gak tahu, tapi kalo rambut bajang aku tahu. Itu tuh... rambut yang belum pernah dipotong sama sekali. Bayi yang baru lahir tuh.. rambutnya rambut bajang. Ato di dalam masyarakat di sekitar pegunungan Dieng, ada beberapa anak yang rambutnya gimbal. Dan jika akan dipotong harus diadakan upacara ruwatan terlebih dahulu. Nah... anak-anak itu disebut anak (berambut) bajang. Udah baca aja, ntar kan tahu maknanya anak bajang".

Memang dalam membaca buku ini, aku juga tidak terlalu sibuk mencari makna yang terkandung dalam setiap kalimat atau paragraph. Aku biarkan mengalir saja, maka keindahan kata yang terangkai dan kedalaman makna itu akan muncul dengan sendirinya.

Di halaman depan buku Anak Bajang Menggiring Angin ini, aku tulis catatan kecil
" .. inilah kisah perjalanan
kerinduan, cinta dan harapan
menyusuri kehidupan
menggapai kegenapan ..."
Yach itulah "inti sari' buku itu bagiku.

Boleh dibilang buku ini telah menjadi salah satu inspirasi, sehingga aku menjadi seperti sekarang ini.
Terimakasih Rm. Sindu....

"...jangan bermegah atau sombong kalau kau merasa telah melakukan perbuatan baik, kau hanyalah jalan dan kesempatan bagi kebaikan untuk menjelma"

Pare Pare
May 09

May 4, 2009

"X" kurang 5

Ini adalah tulisan untuk membayar hutangku pada tulisan sebelumnya yang berjudul Paraban.

"X" kurang 5 merupakan paraban yang disematkan oleh temen-teman sekelasku untuk si "X". Untuk lebih enaknya kita ganti saja "X" menjadi Rei. Jadi paraban-nya adalah Rei kurang 5. Tentu saja Rei disini adalah nama samaran.

Waktu itu aku telah duduk di kelas 3 SMA. Sebagai informasi kelasku terletak di lantai 3, menghadap ke gerbang utama sekolah.
Seperti biasa, sebelum pelajaran dimulai, kami biasa ngobrol ngalor ngidul di kelas. Tempat favorit untuk morning session adalah di sudut belakang kelas kami. Dari tempat itu kami memperhatikan teman-teman yang memasuki halaman sekolah. Seperti scanner saja. Kami ngrasani temen-teman atau guru yang lewat di bawah sana, atau sesekali mengagumi kembang-kembang sekolah yang melintas.

Ada satu hal yang menarik.
Setiap 5 menit sebelum bel berbunyi, pasti ada mobil kuning dengan warna yang cukup ngejreng berhenti di gerbang sekolah. Lalu munculah Rei dari dalam mobil itu dan melangkah anggun memasuki halaman sekolah.

Lama kelamaan si Rei menjadi penanda waktu. Jika Rei datang, berarti 5 menit lagi bel masuk berbunyi. Jadilah si Rei kurang 5 (menit).

Pernah suatu kali, listrik di sekolah kami mati, sehingga bel tanda masuk juga tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Kami masih ngobrol dengan asiknya ketika ibu guru bergabung dengan kami, dan menyela:
"Yuk... mulai pelajarannya"
Upppsss..... ternyata beliau udah masuk kelas dan temen-temen yang lain sudah duduk dengan manis di bangku masing-masing. Tinggal kami bertujuh saja yang masih "diskusi pagi"

"Lho... tapi kan Rei kurang 5 belum datang Bu?"
"Siapa? Rei kurang 5?"

Apa kabar Rei? Sekarang ke kantor masih kurang 5 tidak?
Kalo mobil sih aku tahu pasti, sudah tidak pakai mobil kuning ngejreng itu lagi.

Pare Pare
May 09

May 2, 2009

Paraban

Paraban, dalam bahasa jawa berarti nama panggilan atau sapaan tapi penggunaannya terbatas pada kalangan atau komunitas tertentu saja. Istilah menterengnya nick name. Hampir bisa dipastikan paraban berbeda sama sekali dengan nama asli yang tertera di akta kelahiran atau ijazah.

Paraban bisa berasal dari ciri fisik seseorang, penampilan atau kebiasaan seseorang, peristiwa tertentu yang dialami, atau dari sumber-sumber lain yang tidak terlalu jelas asalnya.
Contoh paraban yang berasal dari ciri fisik seseorang antara lain: "Si Buta (dari Goa Hantu)", Si Codet, Si Pincang, dsb.
Sedangkan paraban dari penampilan atau kebiasaan seseorang, misalnya: Si Klimis (karena penampilan rambutnya yang selalu tertata rapi, berminyak sangat banyak, dan dari pagi sampai sore tidak pernah berubah tatanan rambutnya), Si Cerewet, dsb.
Contoh paraban yang berasal dari peristiwa tertentu banyak diceritakan Andrea Hirata dalam Maryamah Karpov.
Ato dalam kehidupan nyata yang pernah aku temui adalah, si "X" kurang 5. (tapi jangan diartikan 'kurang 5" itu perhubungan dengan kemampuannya ya... please... lain kali akan aku ceritakan deh tentang X kurang 5 ini)
Nah kalo yang asalnya tidak jelas, mungkin bisa mengambil "Minke" dalam tetralogi-nya Pramoedya Ananta Toer sebagai contoh.

Berikut ini adalah paraban-paraban yang aku sandang.

-Bre-
Ini adalah paraban yang disematkan oleh teman-teman SMA. "Bre" ini aku sandang mulai kelas 2 SMA. Tapi jangan dianggap Bre itu gelar yang cukup mentereng di jaman Majapahit dulu. Bre di sini tidak sama dengan Bhre Kertabumi, Bhre Pandansalas, atau Bhre - Bhre yang lain di masa Singosari - Majapahit.
"Bre.....wok" Yach, dari kata brewok itulah muncul paraban BRE. Memang pada saat itu di wajahku mulai tumbuh brewok. Sebenarnya beberapa teman yang lain juga mulai tumbuh brewok, tapi entah mengapa yang dipanggil "bre" hanya aku.
Mungkin karena pada waktu itu aku sering mencabuti helai demi helai brewok yang ada di daguku... Apalagi kalo otak ini tidak sanggup lagi menangkap apa yang diterangkan guru di depan.
Udah deh.. dari pada pusing, lebih baik ambil posisi (paling nikmat menurutku saat itu)... duduk dengan punggung bersandar di kursi, tangan kiri terlipat di dada... trus tangan kanan mengelus dagu... dan jika ada brewok yg terasa kasar dan nyekrik ... mulai deh ibu jari dan jari tengah berkolaborasi untuk mencepit sang brewok... dan... dhel.... selembar brewok tercabut bersama akarnya.
Yup... itu sepenggal kisah paraban si -Bre- yang kadang masih tercetus diantara teman-teman saat reuni tahunan.

-Obel-
Ini adalah nama paraban di kampus. Bukan dari awal masuk kuliah, tapi setelah semester 6 berlalu, waktu kami akan membuat jaket program study seangkatan.
Obel, berasal dari kata Obelix. Salah satu tokoh idola dalam komix Asterix. Karena tubuhku yang "sedikit" tambun, dan kebetulan aku suka tokoh Obelix, maka temen temen menyematkan nama Obel untuk diriku ini (ketika menulis ini sambil membayangkan Obelix sedang menyantap satu celeng panggan utuh... slurrrppp)
Nama ini masih terbordir dengan manis di jaket yang kami buat, "OBEL". Paraban ini sudah sangat jarang aku dengar, karena jujur saja, aku sudah sangat jarang bertemu teman-teman se-program study seangkatan yang tidak sampai 25 orang itu.

-Mas Ndut-
Kapan paraban ini mulai tersemat aku tidak ingat dengan pasti, yang jelas ini tersemat setelah aku pacaran dengan mantan pacarku. Dan sebutan "Mas Ndut" hanya beredar di kelurga mantan pacarku itu. Kalo asal kata tidak sukar ditebak, Ndut... Gendut.
Kalo dilihat pembagian diatas.... jelas ini berasal dari ciri fisik yang melekat padaku.

-Bro Neo-
Ini paraban yang aku "deklarasikan" pertama kali melalui email ke teman-teman akrab di tempat kerja. Dan hanya beredar dalam tulisan saja.
Memang diantara kami sapaan "Brooowww..." kerap terdengar. "Thank you bro....", "Gmana bro... ?" dan bro-bro yang lain ada dalam percakapan kami sehari hari baik dalam bahasa tutur maupun bahasa email.
Beberapa relasi kerja juga menggunakan Bro dalam pergaulan sehari-hari.
Karena waktu itu aku sedang bertugas di pulau BORNEO, dan tidak jauh juga dari "BRE NEO"(sedikit ber-plesetan ria...ingat: "bre" adalah paraban waktu SMA, dan "neo" sama artinya dengan new alias baru), dan didikung dengan sapaan "bro" yang sedang ngetrend, maka kupakailah nama "BRO NEO" dalam bahasa tulis sampai saat ini.. (dan juga mampir "Bro Neo" itu dalam judul blog ini)
Jadi paraban Bro Neo, nyrempet nyrempet dengan:
Borneo, pulau nan kaya tempat aku pernah tinggal.
Sapaan "brooowww..." dari teman-teman, dan sekaligus dapat di-link-kan atau di-pleset-kan sebagai "paraban yang baru"
(Harap maklum kalo ada unsur plesetan di sini, karena memang aku tumbuh bersama dengan budaya plesetan di Jogja)

Ke depan kira-kira masih akan ada paraban yang lain gak ya?

Tator - Palopo - Pare
May 09

April 30, 2009

Admiral & Marsekal

"Keluarga dari Angkatan ya Pak?" kata Pak Polisi yang sedang melakukan pemerikasaan
"Wah nama Marsekal-nya selalu pindah ke depan Pak, jadinya Marsekal A..W.. " kata teller sebuah bank swasta ketika aku akan membuat bank account
"Apa ada hubungan sama Laksamana Sukardi?" tanya orang yang baru saja menerima kartu namaku

Itulah beberapa reaksi ketika orang melihat nama tengahku. Marsekal

Kata Admiral & Marsekal merupakan pangkat dalam jenjang kemiliteran di angkatan laut dan angkatan udara. Setera dengan Jenderal di angkatan darat. Di negara kita pangkat Admiral tidak dipakai, tapi menggunakan Laksamana.

Tapi bukan itu yang mau aku ceritakan. Admiral & Marsekal di sini adalah nama tengah. Admiral nama tengah kakakku sedangkan aku mempunyai nama tengah Marsekal. Jadi nama kakakku adalah E Admiral Wibawa, dan namaku A Marsekal Wibawa. Kalo nama belakang Wibawa tentu bisa ditebak itu adalah nama bapak.

Admiral & Marsekal.
Bukan nama yang biasa dipakai oleh orang.
Bapak juga tidak pernah bercerita mengapa kami menyandang nama Admiral dan Marsekal. Baru pada tahun 2001, aku mendapat setitik info mengapa nama kami Admiral dan Marsekal dari Budhe (kakak Bapak).

Budhe bercerita, bahwa Bapak pada masa mudanya pernah mendaftar menjadi anggota KKO di Surabaya. KKO adalah satuan elite AL, sekarang Marinir lah. Waktu itu tidak diterima. Yach... impian untuk menjadi Angkatan Laut tertutup
Setahun kemudian Bapak mendaftar menjadi anggota AURI di Bandung. Serangkaian test telah dilalui dan lolos. Tes kesehatan juga sudah lolos, tinggal tunggu 1 tes terakhir.
Bapak kemudian berkonsultasi dengan penasehat spiritualnya (yang pasti bukan dukun ya...)
Penasehat itu menyarankan untuk tidak melanjutkan karena ayah adalah satu satunya pria dalam keluarga. Bapak hanya mempunyai 1 kakak wanita (ya... budhe yang menceritakan kisah ini). Sebagai penganut patriarki, Bapak adalah satu satunya penerus keturunan keluarga. Dan menjadi militer akan memperbesar kemungkinan untuk meninggal dalam usia muda.
(ada korelasinya gak sih...??)
So dengan pertimbangan itu Bapak tidak melanjutkan cita-citanya untuk masuk AURI

Nah... ini mungkin yang membuat kakakku bernama tengah Admiral dan aku Marsekal. Aku tidak sempat mengkonfirmasikan hal ini ke Bapak, karena Budhe cerita beberapa saat setelah pemakaman Bapak.

Pare Pare
April 09

April 29, 2009

Nasehat Bapak

Bapak...


Salah satu hal (dari sekian banyak hal) yang selalu kuingat dari Bapak adalah kemauan dan kemampuannya untuk memberi contoh perilaku, bukan nasehat yang panjang. Sangat jarang Bapak mengungkapkan dengan tutur "nasehat" apa yang terkandung dari kebiasaan atau langkah hidup yang diambilnya.

Beliau membiarkan kami melihat sendiri contoh nyata.
Bahkan beberapa NASEHAT baru aku pahami setelah Bapak berpulang.

Mungkin ini yang biasa disebut orang sebagai keteladanan... (wow.. kok kayaknya tinggi banget ya.. keTELADANan).
Aku sendiri lebih suka menyebutnya sebagai "nasehat"

Ketika aku masih SD, tahun 1984 kalau tidak salah, aku masih sangat susah untuk disuruh belajar.... maklum masih anak-anak.
Kebetulan waktu itu dicanangkan program UT, alias universitas terbuka.

Dengan sangat antusias, Bapak mengikuti program tersebut, walau secara usia beliau telah 46 th. Untuk apa ikut UT pada usia tersebut?
Untuk mencari gelar S1 yang belum sempat Bapak sandang? Bukan
Untuk mencari pekerjaan baru atau peningkatan gaji dengan gelarnya? Juga bukan. Sebagai penjual barang loak di pasar, tentu gelar akademis tidak diperhitungkan sama sekali
Untuk gagah gagahan? Tentu bukan juga

Untuk memberi CONTOH bagiamana saya harus belajar. Yup itu jawabannya. Beliau menasehati kami anak-anaknya untuk belajar, dengan cara Bapak sendiri juga belajar. Dengan demikian Bapak mempunyai "legitimasi" untuk menyuruh kami belajar, karena setiap malam Bapak juga belajar.
Bukan hanya menyuruh saja dengan kata-kata panjang, dan nada tinggi, sementara mata terpaku pada televisi.
Dengan demikian aku dan kakakku tidak kuasa menolak ajakan untuk belajar.
Oh ya, satu lagi mengenai status "kemahasiswaan" Bapak. Sampai Bapak meninggal Bapak tidak pernah mencapai gelar S1-nya. Aktivitas belajar di UT tersendat karena katarak. Status terakhir cuti sebagai mahasiswa.
Setelah itu tidak dilanjutkan lagi, karena kami, aku dan kakakku, sudah cukup besar dan bisa belajar sendiri tanpa disuruh-suruh lagi.


Itu baru salah satu contoh.
Masih banyak yang lain, misalnya Bapak tidak merokok sehingga bisa melarang kami untuk tidak merokok (meskipun sekarang aku bergelut dalam industri ini)
Hal kecil lainnya adalah Bapak tidak pernah mengeluh mengenai masakan apapun yang dimasak oleh Ibu. Enak - tidak enak, suka - tidak suka, Bapak selalu makan dengan lahap.
Nah.. kalo yang ini punya efek samping pada diriku. Karena "nasehat" seperti itu, saat ini aku melakukan hal yang sama... sehingga pantaslah kalo diriku "sedikit" tambun.

Itulah salah satu kenangan akan Bapak.
Beliau selalu memberi NASEHAT kepada kami dengan hidupnya sehari hari.

Makassar, 29 Apr 09
- dalam kerinduan kepada Ign. Wibawadjati -

April 27, 2009

Cukup Hari Ini

Ini pengalaman beberapa tahun yang lalu, tahun 2006. Tanggal dan harinya tidak aku ingat dengan pasti, tapi yang jelas ketika aku masih di Jakarta.

...
Malam telah menunjukkan pukul 20.35 ketika bus jurusan blok M - Kalideres merapat di halte dekat Ciputra Mall.
Sepasang pengamen, pria dan wanita yang masih sangat muda, mungkin sekitar 20 th-an duduk tepat dibelakangku setelah penumpang sebelumnya turun. Apakah mereka suami istri atau sepasang kekasih aku tidak tahu, namun mereka tampaknya bukan saudara. Wajah mereka tidak menyiratkan kemiripan.
Selembar ribuan telah beralih dari kantongku ke topi mereka. Cukup banyak lagu telah mengalun di sepanjang tol dalam kota. Aku akui suara mereka lumayan merdu, tidak mendayu dayu, cukup nyaring dan tegas. Seribu cukup pantas bagi mereka

Dalam kantukku, terlintas percakapan keduanya.
"Berapa kita peroleh hari ini?" tanya si pemuda
"Enam puluh ribuan"
"Sekarang kita cari bus pulang saja, istirahat. SUDAH CUKUP hari ini!" sahut pemuda lagi

Plak!! Sebuah tamparan telak menimpa wajahku.
"SUDAH CUKUP HARI INI!!!"
Ungkapan yang tak pernah terlintas dibenakku waktu itu, meluncur dengan sangat lancar dari pengamen, yang "hanya" mendapatkan 60 ribu, hasil jerih payah mengamen seharian. 30 ribu seorang...


Setiba dirumah, aku segera masuk ke kamar, dan dalam tunduk dan linang air mata, aku memohon:
Ampuni aku Tuhan, betapa aku tidak pernah bersyukur atas semua limpahan kasihMu.
Terima kasih atas pelajaran yang Kau berikan lewat kedua pengamen tadi.
Ajari aku selalu bersyukur atas rejeki, seberapa pun itu...
Ajari aku Tuhan untuk melepas keinginan dagingku, agar aku bisa berkata "sudah cukup hari ini"

Malam itu, terlintas jelas nasehat almarhum Bapak, "Rejeki, sakpira wae ojo ditolak... Sing gedhe kuwi asale seko sing cilik"
(rejeki, seberapapun besarnya jangan ditolak.. yang besar itu berasal dari yang kecil)

Beberapa kali cerita ini telah aku share-kan ke sahabat-sahabatku, dengan tambahan pesan "Ingatkan aku jika kurang bersyukur yach.."

Sekarang aku share di tempat ini, dengan pesan yang sama....
"Ingatkan aku jika kurang bersyukur, masih menggerutu, dan masih iri atas nikmat orang lain"

Pare-Pare
April 09